Ada Sosok Kakek Prabowo di Balik Berdirinya Bank Pertama di RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Kakek Presiden Prabowo Subianto, yaitu Margono Djojohadikusumo, memiliki peran sentral dalam pendiri bank pertama milik pemerintah Indonesia.
Setelah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Margono dan Soerachman memandang penting pendirian bank sentral di Indonesia. Namun, keduanya memiliki cara yang berbeda untuk mewujudkan pemikirannya.
Margono, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung, berpendapat kalau Indonesia perlu mendirikan bank sentral dari jerih payah bangsa Indonesia sendiri, bukan warisan bank asing.
Pemikiran ini didasari permasalahan sejak masa kolonial Indonesia tidak memiliki bank nasional buatan rakyat Indonesia. Dengan semangat nasionalisme, kemerdekaan momentum tepat untuk mendirikan bank sentral baru.
Di sisi lain, Menteri Kemakmuran Soerachman, tidak setuju. Pandangannya lebih praktis. Menurutnya, dikutip dari buku Dari De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (2014), Indonesia hanya perlu menghidupkan kembali De Javasche Bank (DJB) buatan Belanda.
Ia menganggap, bank itu sudah lama mengawal ekonomi negara dan sudah banyak memiliki tenaga mumpuni. Jadi, tidak perlu susah payah membangun dari nol.
Di tengah perdebatan itu, kabar mengejutkan datang dari Belanda yang kembali ke Indonesia untuk menjajah kedua kalinya.
"Belanda ingin menghidupkan kembali DJB sebagai bank sentral berdasarkan izin Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 2 Januari 1946," tulis penyusun buku Semarang Sebagai Simpul Ekonomi (2022).
Keberadaan DJB jelas mengancam kedaulatan ekonomi negara. Terlebih, DJB hendak mencetak dan mengedarkan uang buatan kompeni untuk mengacaukan ekonomi Indonesia. Akibatnya upaya pendirian bank sentral baru semakin tinggi.
Situasi ini membuat pendapat Margono semakin logis. Pada saat bersamaan, kakek dari Prabowo Subianto ini memang sudah gerak cepat untuk merealisasikan gagasannya.
Dia dikabarkan sudah mendapat restu dari Soekarno dan Hatta untuk mendirikan bank nasional bernama Bank Negara Indonesia sejak September 1945. Sekaligus sudah mengurusi yayasan perbankan milik negara bernama Yayasan Poesat Bank Indonesia.
Pada 5 Juli 1946 pemerintah resmi mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sentral berdasarkan Perpu No.2 tahun 1946. Selain tugasnya sebagai bank sentral, BNI juga diberi wewenang untuk melakukan kegiatan sebagai bank umum, seperti pemberian kredit, pengeluaran obligasi, dan penerimaan simpanan giro, deposito, atau tabungan.
Pemimpin awal BNI adalah Margono sendiri. Modal awalnya didapat dari patungan rakyat Indonesia.
Saat itu BNI juga harus ikut bertempur melawan Belanda di bidang ekonomi yang semakin menggila dengan ekspansi DJB-nya. Jadi, bisa dikatakan, BNI saat itu difungsikan sebagai ujung tombak pertempuran di sektor ekonomi: BNI Vs De Javasche Bank.
"Perang" keduanya ini membuat terjadinya dualisme bank sentral di Indonesia. Hal ini kian panas ketika BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI) untuk menyaingi uang buatan DJB, yang mengeluarkan uang NICA. Alhasil, timbul peperangan mata uang atau currency war.
Di lapangan, pertempuran melawan Belanda semakin panas. Banyak wilayah yang dijajah kembali Belanda. Akibatnya, tugas BNI sebagai bank sentral tidak optimal. BNI tidak mampu berbuat apa-apa karena operasionalnya mandek.
Di daerah banyak cabang BNI yang tutup dan kekayaannya dirampas Belanda. Namun, kegagalan ini tak bisa dilimpahkan ke manajemen BNI karena murni disebabkan oleh faktor eksternal, yakni Belanda.
Seiring berjalannya waktu, situasi berubah. Perang melawan Belanda sudah selesai tahun 1949. BNI mulai aktif kembali. Namun, pada tahun 1953 tugas BNI sebagai bank sentral memudar usai pemerintah mengambil alih DJB dan mengubahnya menjadi Bank Indonesia. Bank Indonesia kemudian ditugasi sebagai bank sentral. Puncaknya terjadi pada 1968 ketika status BNI sebagai bank sentral resmi dicabut dan diubah menjadi bank pelat merah.
(hsy/hsy)