Media Asing Ramal Kiamat Batu Bara RI di Tengah Seretnya Pendanaan

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
07 October 2024 16:45
Sejumlah perahu tongkang batu bara melintas di Sungai Mahakam, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (24/7/2024). Sungai Mahakam berfungsi sebagai jalur pengangkutan batu bara. Setiap hari di sungai ini dipadati tongkang yang membawa muatan batu bara. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Sejumlah perahu tongkang batu bara melintas di Sungai Mahakam, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (24/7/2024). Sungai Mahakam berfungsi sebagai jalur pengangkutan batu bara. Setiap hari di sungai ini dipadati tongkang yang membawa muatan batu bara. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Media asing menyoroti proses transisi energi batu bara ke energi terbarukan seperti nikel dan aluminium di Indonesia. Sebagian produsen batu bara di Indonesia dinilai tengah menyusun ulang rencana bisnis di tengah pendanaan terhadap energi kotor yang kian berkurang.

Sebuah laporan Financial Times menunjukkan, dengan kapasitas batu bara yang masih bertambah, Indonesia tetap menjadi salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Berbagai kelompok lingkungan mengkritik lambatnya transisi negara ini menuju sumber energi yang lebih bersih.

Upaya korporasi untuk diversifikasi mencerminkan tekanan yang dihadapi dalam transisi energi dan kekhawatiran akan permintaan jangka panjang terhadap batu bara. "Ada tekanan yang terus meningkat terkait lingkungan, sosial, dan tata kelola, dan batu bara menjadi pusat dari diskusi ini," kata Ray Gunara, direktur utama Harum Energy (HRUM), dilansir Senin, (7/10/2024).

Gunara menambahkan bahwa sangat menantang bagi perusahaan untuk mengumpulkan dana bagi proyek yang terkait dengan batu bara. Harum Energy, salah satu produsen batu bara kelas menengah-kecil di Indonesia, telah menghentikan investasi baru di sektor batu bara selama lima tahun terakhir.

Gunara juga menyebutkan bahwa perusahaan kini mengumpulkan dana dari bisnis batu bara yang ada untuk kemudian dialokasikan ke bisnis nikel. "Kami telah mengakumulasi uang dari bisnis batu bara yang ada, dan semua dana itu kami gunakan untuk mengembangkan bisnis nikel," ujarnya.

Harum Energy berencana untuk menutup bisnis batu bara ketika cadangan habis dalam beberapa tahun ke depan. "Hanya dengan melanjutkan bisnis seperti biasa, dalam enam hingga tujuh tahun, bisnis batu bara kami akan habis," tambah Gunara.

Sejak memasuki bisnis nikel pada tahun 2020, Harum memproyeksikan nikel akan menyumbang sekitar 60% pendapatan pada akhir tahun ini, meningkat dari 11% pada tahun lalu. Harum Energy juga bertujuan untuk menggandakan kapasitas produksi nikel menjadi 150.000 ton pada akhir 2025.

Produsen batu bara lainnya, seperti Indika Energy dan Adaro Energy, juga melakukan diversifikasi. Indika Energy telah meluncurkan sepeda motor listrik, pembangkit listrik tenaga surya, dan menjual beberapa tambang batu baranya.

Adaro Energy, yang dipimpin oleh miliarder Garibaldi Thohir, sedang membangun smelter aluminium dan pembangkit listrik tenaga air. Bulan lalu, Adaro mengumumkan rencana untuk memisahkan bisnis batu baranya melalui penawaran umum dengan valuasi sekitar $2,5 miliar.

Sebuah analisis oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis menunjukkan bahwa lima dari tujuh produsen batu bara terbesar di Indonesia sedang berinvestasi dalam diversifikasi. "Sangat sulit mendapatkan pembiayaan, itu masalah terbesar," kata Ghee Peh, analis keuangan energi di IEEFA.

Perbankan asing telah menghentikan pendanaan untuk operasi batu bara dalam beberapa tahun terakhir, membuat perusahaan Indonesia bergantung pada pendanaan dari lembaga keuangan domestik. Tahun lalu, Financial Times melaporkan bahwa Adaro kesulitan mendapatkan dana untuk proyek aluminium senilai $2 miliar yang melibatkan pembangkit listrik tenaga batu bara.

Meski upaya diversifikasi sedang berlangsung, kapasitas batu bara Indonesia terus meningkat dan mengancam target netral emisi pada tahun 2060. Pemerintah melarang pembangunan pembangkit listrik batu bara baru pada 2022, tetapi masih memberikan pengecualian untuk proyek yang dianggap strategis bagi kepentingan nasional.

Menurut Peh dari IEEFA, dua dari tujuh produsen batu bara terbesar di Indonesia memiliki rencana ekspansi besar-besaran yang akan menambah sekitar 58 juta ton kapasitas. Tahun lalu, Indonesia mencatat produksi batu bara sebesar 775 juta ton, yang merupakan rekor tertinggi.

Batu bara menyumbang lebih dari 60 persen listrik yang dihasilkan di Indonesia, dengan potensinya yang memiliki cadangan batu bara termal yang melimpah. Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan adalah beberapa pembeli utama batu bara Indonesia.

Negara-negara maju telah menjanjikan $22 miliar dalam pendanaan untuk membantu Indonesia mengurangi ketergantungannya pada batu bara. Namun, penyaluran dana ini berjalan lambat, memperlambat upaya transisi energi.

Harga batu bara yang melonjak dalam beberapa tahun terakhir menjadikannya bisnis yang sangat menguntungkan. Pada Agustus lalu, Glencore, produsen batu bara terbesar yang terdaftar di bursa, membatalkan rencana untuk memisahkan bisnis batu baranya setelah tekanan dari para investor.

Perusahaan batu bara yang lebih kecil mungkin dapat beralih ke sektor lain dengan lebih mudah, sementara bagi perusahaan yang lebih besar, transisi ini akan menjadi tantangan besar. Fitch Ratings memproyeksikan bahwa akses pendanaan akan semakin terbatas dalam tiga hingga lima tahun ke depan bagi perusahaan yang tidak melakukan diversifikasi.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Jurus Bos Angkutan Kapal Hadapi Tren Pelemahan Harga Batu Bara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular