
Ekonomi China Tak Bisa Diharapkan, Harga Komoditas Makin Suram

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga berbagai komoditas seperti tembaga hingga jagung telah jatuh, akibat pasokan yang melimpah dan menurunnya permintaan Tiongkok telah mendorong pengelola dana untuk memangkas sekitar US$41 miliar (Rp664,52 triliun) untuk taruhan bullish pada sumber daya alam.
Penjualan tembaga, yang menjadi penentu ekonomi global karena penggunaannya yang luas dalam pembangunan, infrastruktur, dan manufaktur, telah turun tajam hampir 20%, dari rekor tertingginya pada bulan Mei di atas US$11.000 per ton.
Logam dasar lainnya seperti aluminium, timbal, dan seng juga mengalami hal yang sama, sementara jagung telah turun ke level terendah sejak Oktober 2020.
Penjualan ini didorong aksi para pedagang membatalkan taruhan besar mereka pada kenaikan harga, akibat prospek pertumbuhan di Tiongkok telah meredup dan otoritas negara tersebut telah gagal memberikan stimulus yang diharapkan investor. Seperti diketahui, Tiongkok merupakan negara konsumer terbesar dari berbagai komoditas.
"Tekanan jual investor sangat besar pada tembaga dan logam dasar karena sentimen permintaan Tiongkok yang lemah telah diperkuat oleh kurangnya dukungan kebijakan yang signifikan pada bulan Juli," kata Tracey Allen, ahli strategi komoditas di JPMorgan, dikutip dari Financial Times, Jumat (2/8/2024)
Menurut data JPMorgan, posisi bullish pedagang (yang dikurangi taruhan bearish), pada komoditas telah turun 31%, atau US$41 miliar, dari puncak akhir Mei sebesar US$132 miliar hingga 30 Juli.
Aksi jual yang meluas juga berbalik secara signifikan dari lebih dari dua bulan lalu, ketika beberapa komoditas, termasuk tembaga, mencapai rekor tertinggi karena investor mengalirkan uang dan pedagang bearish dipaksa keluar dari taruhan mereka. Banyak pedagang juga tertarik pada tembaga, sebagai upaya untuk melindungi diri dari inflasi, setelah inflasi AS pada bulan Maret naik lebih cepat dari yang diharapkan.
Adapun ancaman konflik yang meluas di Timur Tengah menyusul pembunuhan seorang pemimpin politik Hamas mendorong sektor komoditas pada hari Rabu, dengan tembaga melonjak 2,8% menjadi US$9.225 per ton. Namun, sentimen yang lebih besar telah memburuk karena pertumbuhan di Tiongkok mengecewakan, dengan harga jatuh lagi pada hari Kamis.
Biro Statistik Nasional Tiongkok mengatakan pada hari Rabu bahwa indeks manajer pembelian manufaktur resmi Tiongkok, ukuran aktivitas manufaktur, turun untuk bulan ketiga berturut-turut pada bulan Juli.
Sementara itu, sebagian besar tembaga yang dibeli oleh Tiongkok pada paruh pertama tahun ini berakhir dengan penimbunan, ketimbang digunakan.
"Sentimen [pasar] terhadap komoditas benar-benar buruk," kata Sabrin Chowdhury, kepala analisis komoditas di BMI, sebuah perusahaan data komoditas yang merupakan bagian dari Fitch Group.
Di sisi lain, Rio Tinto yang penambang terbesar kedua di dunia, menyoroti kedalaman kemerosotan pasar properti Tiongkok pada hari Rabu ketika mengatakan bahwa permintaan baja dari sektor tersebut turun sebanyak 30% dari puncaknya pada tahun 2020.
Untuk komoditas pertanian, pertumbuhan ekonomi yang lambat dan panen domestik yang melimpah di Tiongkok memicu kekhawatiran bahwa permintaan impor tanaman seperti gandum dan jagung dari pembeli terbesar dunia, akan berkurang. Itu seiring dengan melonjaknya pasokan biji-bijian global.
Kekhawatiran tentang melambatnya permintaan Tiongkok sudah terjadi pada tembaga, di mana impor bersih negara itu terhadap logam tersebut berada pada level terendah dalam 13 tahun pada bulan Juni. Sebagian karena rekor ekspor sebesar 157.000 ton, karena pasar kelebihan pasokan.
Kelompok data tanker minyak Vortexa, impor minyak mentah dan kondensat hidrokarbon cair yang diproduksi bersama gas alam ke Tiongkok juga turun sebesar 2,5 juta barel per hari pada bulan Juli dibandingkan dengan tahun lalu.
Zhang Jiefu, analis senior di Zhengxin Futures yang berbasis di Wuhan, mengatakan bahwa ekspektasi terhadap pertumbuhan permintaan tembaga Tiongkok pada paruh pertama tahun ini "terlalu optimis" dan telah "hancur".
"Mengikuti logika realistis ini, semua komoditas terseret turun oleh permintaan yang lemah," katanya.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: S&P Ungkap Dampak 'Ngeri' Melambatnya Ekonomi China ke RI