OJK Hormati Putusan MA, Siap Perkuat Aturan dan Pengawasan Fintech P2P

Romys Binekasri, CNBC Indonesia
25 July 2024 11:05
Ilustrasi OJK (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Ilustrasi OJK (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghormati putusan Mahkamah Agung terkait gugatan citizen lawsuit praktik pinjaman online yang diajukan oleh para penggugat sejak tahun 2021.

Pada putusan MA Nomor 1206 K/PDT/2024, antara lain meminta OJK sebagai salah satu tergugat untuk membuat peraturan dan memperkuat pengawasan untuk menjamin pelindungan hukum bagi seluruh pengguna aplikasi pinjaman online dan masyarakat.

Dalam gugatan kepada OJK yang dilayangkan oleh 19 warga melalui citizen lawsuit terkait dengan pinjaman online (pinjol) pada 24 April 2024, menggugat Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI Mahendra Siregar.

Selain Ketua Dewan Komisioner OJK, pihak lainnya seperti Presiden RI Joko Widodo, Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin, Ketua DPR RI Puan Maharani, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie juga mendapat gugatan yang sama.

Adapun 19 warga tersebut yakni Nining Elitos, Dhyta Caturani, Sri Baskoro, Betty Martina, Ahmad Muaz, Minarsih, Henny Susylawaty, Dewi Purwati, Nurul Kartika Putri, Ganie Saputro, Siti Aminah, Yulianti, Asfinawati, Nur Rosyid Murtadho, Irine Octavianti Kusuma Wardhanie, Dyah Ariyati P, Warsiti Hajar, Muharyati, dan Leon Alvinda Putra.

Mengutip sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, MA mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian, menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, dan menghukum tergugat I, II, dan IIIx

Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi Aman Santosa mengatakan, OJK terus melakukan upaya penguatan industri Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau dikenal sebagai fintech Peer to Peer lending (P2P lending) serta pelindungan konsumen dan masyarakat dengan mengeluarkan berbagai ketentuan dan roadmap LPBBTI 2023-2028.

Tujuannya, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan, mendorong industri agar dapat berkembang secara sehat, berintegritas dan kontributif, serta memperkuat pelindungan konsumen.

Ia menjelaskan, terkait pengaturan fintech P2P lending, OJK telah menerbitkan aturan mengenai fintech P2P lending yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK 10/22) dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (SEOJK 19/2023).

Dalam aturan tersebut, OJK mengatur beberapa hal, di antaranya, analisis pendanaan atau proses uji kelayakan pengajuan pinjaman dengan memperhatikan kemampuan keuangan yang dimiliki oleh penerima dana

Aturan tersebut mewajibkan penyelenggara memenuhi ketentuan batas maksimum manfaat ekonomi pendanaan dalam memfasilitasi pendanaan. Manfaat ekonomi yang dikenakan oleh Penyelenggara adalah tingkat imbal hasil, termasuk bunga/margin/bagi hasil, biaya administrasi/biaya komisi/fee platform/ujrah yang setara dengan biaya dimaksud. Serta biaya lainnya, selain denda keterlambatan, bea meterai, dan pajak.

Selain itu, juga membatasi akses data berupa camera, microphone, dan location. Muatan isi minimum perjanjian dalam rangka transparansi dan pelindungan hak-hak Pengguna. Serta, pengenaan sanksi administratif terhadap Penyelenggara fintech P2P lending yang melanggar ketentuan aspek kepatuhan terhadap POJK tersebut.

Selain itu, OJK juga telah melakukan langkah-langkah seperti mengingatkan dan meminta penyelenggara fintech P2P lending dan Asosiasi fintech P2P lending untuk melakukan langkah-langkah dan mitigasi risiko yang diperlukan agar produk atau layanan keuangan fintech P2P lending tidak digunakan sebagai sarana kejahatan ekonomi seperti judi online, pencucian uang, pendanaan terorisme, pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, maupun tindak kejahatan ekonomi lainnya.

Kemudian, meminta penyelenggara fintech P2P lending dan Asosiasi fintech P2P lending untuk memuat pernyataan peringatan kepada konsumen dengan menggunakan huruf kapital yang dapat menarik perhatian pembaca pada laman utama yang langsung dapat terlihat pada halaman website maupun aplikasi.

Di sisi lain, OJK juga sedang menyusun peraturan tentang industri fintech P2P lending (Rancangan POJK) sebagai penyempurnaan atas regulasi sebelumnya yang berisi antara lain penguatan kelembagaan, manajemen risiko, tata kelola (antara lain larangan pemegang saham pengendali/mayoritas sebagai pengelola/direksi Penyelenggara) dan pelindungan konsumen, serta penguatan dukungan terhadap sektor produktif dan UMKM.

Terkait pelindungan konsumen dan masyarakat, OJK menerbitkan POJK Nomor 22 tahun 2023. Dalam aturan tersebut, OJK mengatur beberapa hal seperti kewajiban menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi Konsumen, larangan membuat dan menggunakan perjanjian baku yang memuat klausul eksonerasi/eksemsi, sanksi atas penyebaran data pribadi.

Kewajiban PUJK memastikan penagihan kredit atau pembiayaan kepada Konsumen dilaksanakan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan, di antaranya, tidak menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan konsumen.

Selanjutnya, tidak menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal, tidak kepada pihak selain konsumen, tidak secara mengganggu, terus menerus yang bersifat di tempat alamat penagihan atau domisili Konsumen, hanya pada hari Senin sampai dengan Sabtu di luar hari libur nasional dari pukul 08.00 - 20.00 waktu setempat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

OJK juga mengenakan sanksi kepada PUJK yang melanggar ketentuan pelindungan Konsumen.

OJK telah menyediakan Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen (APPK) dan Kontak 157 melalui nomor telepon 157 atau whatsapp (081-157-157-157) serta email [email protected] sebagai kanal layanan konsumen sektor jasa keuangan.

"Dalam upaya penegakan ketentuan dan melindungi konsumen serta masyarakat, OJK telah melaksanakan off-site dan on-site supervision terhadap Penyelenggara fintech P2P lending," sebutnya.

Sebagai informasi, sejak tahun 2020 hingga 12 Juli 2024, OJK telah mencabut 66 izin usaha penyelenggara fintech P2P lending. Pada periode Januari 2024 sampai dengan Juni 2024 OJK telah mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara fintech P2P lending yang terdiri dari 196 sanksi peringatan tertulis, 166 sanksi denda, 7 sanksi pembatasan kegiatan usaha, dan 1 pihak utama yang telah dikenakan sanksi penilaian kembali bagi pihak utama serta terhadap 2 penyelenggara fintech P2P lending.

Di samping itu, OJK telah melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti lebih lanjut. OJK juga telah melakukan moratorium perizinan baru Penyelenggara fintech P2P lending sejak tahun 2020.

Di sisi lain, dalam mengoptimalkan pemberantasan pinjaman online ilegal, OJK bersama dengan 15 Kementerian dan Lembaga yang tergabung dalam Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal atau Satgas PASTI (sebelumnya disebut sebagai Satgas Waspada Investasi) sejak 2017 hingga Juni 2024, telah menghentikan 8.271 entitas pinjaman online ilegal.

OJK mengimbau masyarakat untuk selalu berhati-hati, waspada, dan tidak menggunakan pinjaman online ilegal karena berpotensi merugikan masyarakat, termasuk risiko penyalahgunaan data pribadi peminjam.

"Masyarakat yang mengetahui informasi tentang penawaran investasi, penghimpunan dan pengelolaan dana yang mencurigakan atau diduga ilegal serta memberikan iming-iming imbal hasil/bunga yang tinggi (tidak logis) untuk melaporkan kepada Satgas PASTI melalui email [email protected]," pungkasnya.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Digugat PTUN Oleh Minna Padi, Begini Respons OJK

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular