Tekanan Likuditas di RI Belum Reda, Bankir Beberkan Penyebabnya

Zefanya Aprilia, CNBC Indonesia
16 July 2024 15:45
Daftar Bunga Deposito Bank Digital Terbaru
Foto: Infografis/ Daftar Bunga Deposito Bank Digital Terbaru/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mencatat deposito dengan nominal kurang dari Rp 5 miliar menciut. Hal ini berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat. 

Tercatat, rasio tabungan nominal Rp100 juta-Rp200 juta terhadap keseluruhan dalam tren menurun menjadi 5,1% per April 2024, stagnan dari tahun lalu dan telah turun dari tahun 2022 sebesar 5,2%. Kemudian, tabungan nominal di bawah Rp100 juta juga turun dari tahun 2023 sebesar 12,5% menjadi 12,2% per April 2024.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) terpaut jauh dengan kredit. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan terhadap likuiditas perbankan di Indonesia.

Adapun pertumbuhan DPK sebesar 8,63% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 8.699 triliun per Mei 2023. Sementara itu, pada periode yang sama, penyaluran kredit tumbuh dua digit 12,15% yoy jadi Rp 7.376 triliun.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebut pertumbuhan simpanan bank yang melambat itu utamanya pada deposito, yang juga dipengaruhi oleh banyaknya alternatif instrumen penempatan dana.

Lantas, apa yang menyebabkan kondisi likuiditas mengetat saat pertumbuhan ekonomi lebih dari 5%?

Para bankir sepakat daya beli menjadi satu isu yang membuat DPK perbankan tergerus. "Memang benar daya beli masyarakat turun, sehingga simpanan tabungan di bawah Rp100 sampai dengan Rp200 juta turun. Di samping itu, secara umum likuiditas perbankan memang cukup ketat," ujar Direktur Distribution and Institutional Funding BTN Jasmin saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (16/7/2024).

Selain itu, bank juga saat ini bukan hanya berebut dana dengan bank lain, tetapi juga dengan berbagai macam instrumen investasi, seperti SBN, SRBI yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), yang menawarkan yield lebih tinggi dibanding deposito perbankan.

"Bahkan rate SRBI lebih tinggi dari SBN, sehingga ada pergeseran investasi asing dari SBN ke SRBI," kata Jasmin.

Senada, eks Presiden Direktur PT Maybank Indonesia Tbk (BNII) Taswin Zakaria mengatakan likuiditas ketat karena tekanan daya beli serta tren penempatan dana di luar deposito perbankan. Dia menyebut bahwa daya beli masyarakat tergerus seiring dengan kenaikan harga-harga barang akibat pelemahan nilai tukar rupiah.

Sementara itu, deposito nominal di bawah Rp200 juta bunganya cenderung rendah, sehingga dana tersebut bisa saja ditempatkan di produk dana murah (CASA). Di sisi lain, ia menyebut alternatif penempatan dana masyarakat juga semakin banyak, selain obligasi.

"Sekarang ini cukup banyak alternatif penempatan dana di luar perbankan dengan bunga tinggi seperti BPR, koperasi, fintech yang bersaing menarik dana deposan keluar dari bank," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (16/7/2024).

Direktur Kepatuhan Bank Oke Indonesia Efdinal Alamsyah juga sepakat bahwa kombinasi dari tekanan daya beli masyarakat dan tren pergeseran penempatan dana menjadi penyebab tren menurunnya deposito bank. Namun, ia berpendapat alasan pergeseran dana tidak cukup kuat.

"Karena menurut saya, tidak cukup kuat alasan masyarakat untuk memindahkan dana deposito mereka kepada instrumen investasi lain, seperti obligasi. Karena bunga deposito di perbankan saat ini tidak kalah menarik apabila dibandingkan obligasi dan bahkan ada bank yang menawarkan suku bunga lebih tinggi daripada obligasi," kata Efdinal saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (16/7/2024).

Ia menambahkan, menempatkan dana pada instrumen lain seperti reksadana dan saham saat ini juga tidak terlalu menarik.

Kendati demikian Efdinal mengatakan keadaan ini bila berlanjut, dapat berdampak secara makro terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara dampak secara khusus terhadap perbankan, akan mengurangi pertumbuhan kredit dan berujung pada menurunnya profitabilitas.

"Karena jika likuditas terbatas, suku bunga kredit cenderung akan meningkat. Selain itu tingkat spending tinggi jika tidak disertai oleh pertumbuhan ekonomi juga dapat terjadi risiko peningkatan kredit bermasalah karena konsumen menghadapi kesulitan untuk membayar kembali pinjaman mereka. Pada akhirnya perbankan akan mengalami penurunan profitabilitas," jelasnya.

Proyeksi Likuiditas Bank

Dengan kondisi saat ini, Direktur Distribution and Institutional Funding BTN Jasmin melihat likuiditas akan tetap ketat pada semester II-2024. Akan tetapi dapat berangsur melonggar bergantung kepada kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).

"Saat ini, likuiditas masih ada cuma harganya mahal, dan terkumpul di bank-bank besar," pungkas Jasmin.

Ia mengatakan semua bank, baik bank besar atau menengah kecil terdampak atas kondisi tersebut. Akan tetapi biaya dan bunga dari bank-bank menengah kecil lebih tinggi dari bank-bank besar.

Sementara itu, Taswin mengatakan likuiditas domestik tidak harus menjadi terbatas karena adanya pergeseran penempatan dana. Akan tetapi, likuiditas perbankan bakal menjadi terbatas bila dana masyarakat dibelanjakan pada barang dan jasa atau pindah ke institusi keuangan lain yang menawarkan bunga lebih tinggi.

"Kalau berlanjut terus, artinya likuiditas perbankan akan semakin ketat dan dapat mengganggu penyaluran kredit. Setidaknya akan menaikkan cost of fund karena perbankan terpaksa menawarkan bunga lebih tinggi untuk mendapatkan dana," terang Taswin.


(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tabungan Warga RI Seret, Bank Cari Sumber Dana Alternatif

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular