Emiten Keramik KIAS Gugat Kemenkeu dan Satgas BLBI, Ini Penyebabnya
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk (KIAS) melalui anak usahanya, PT KIA Keramik Mas (KKM) mengajukan gugatan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI).
Tergugat dalam hal ini di antaranya, Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara Kemenkeu, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, (Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang DKI Jakarta, Ketua Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
"Pemerintah, yang dipimpin oleh Satgas BLBI, mengklaim bahwa Perseroan memiliki kewajiban finansial kepada negara tanpa memberikan bukti terhadap dasar dan perhitungan kewajiban," tulis manajemen, Senin (15/7).
Pada tanggal 4 Juli 2024, Majelis Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, tanpa memutus dan mengafirmasi apakah Perusahaan memiliki kewajiban keuangan kepada Pemerintah, menjatuhkan amar putusan yang mengabulkan eksepsi Para Tergugat.
Intinya, pengadilan mempertimbangkan 3 hal, yaitu sebagian objek sengketa belumlah menjadi keputusan tata usaha negara karena belum bersifat final, perseroan mendaftarkan gugatannya setelah berakhirnya tenggang waktu 90 hari yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku mengingat Perseroan telah mengetahui tindakan-tindakan tersebut sejak tahun 2022, dan sebagian keputusan tata usaha negara telah dibuat sesuai dengan proses berdasarkan peraturan perundang-undangan administratif yang berlaku.
"Terhadap persoalan ini, perseroan mendalilkan bahwa keputusan yang disengketakan adalah keputusan tata usaha negara karena keputusan- keputusan tersebut menimbulkan akibat hukum pada perseroan, perseroan juga seyogianya dianggap mengetahui atas tindakan-tindakan sejak akhir tahun 2023 ketika pemerintah memberikan penjelasan dan dasar-dasar yang lengkap mengenai kewajiban finansial tersebut kepada Perseroan, dan pemerintah tidak dapat membuktikan dan memverifikasi kebenaran dari catatannya," ungkapnya.
Manajemen menyebut, KIAS mengajukan gugatan ini melawan Satgas BLBI dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham), yang memohonkan agar Pemerintah mencabut Keputusan tata usaha negara sehubungan dengan pemblokiran akses Perseroan kepada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH).
Disebutkan, pada pokoknya, pengadilan mempertimbangkan bahwa persoalan mendasar dari sengketa ini adalah tindakan keperdataan yang karenanya, pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa gugatan ini.
"Terhadap persoalan ini, perseroan mendalilkan bahwa sifat dari sengketa yang mendasari gugatan ini adalah penggunaan kekuasaan negara dalam bentuk pemblokiran akses Perseroan terhadap SABH sehubungan dengan penagihan piutang negara yang bersumber dari pemberian bantuan Pemerintah Republik Indonesia c.q. BPPN pada krisis keuangan tahun 1997 yang merupakan tindakan hukum dalam ranah publik," sebutnya.
Adapun latarbelakang sengketa ini yaitu, sebelum krisis keuangan tahun 1997, perseroan mengadakan beberapa perjanjian utang-piutang dengan beberapa bank, termasuk bank yang dimiliki Kaharudin Ongko dengan jumlah utang dari bank tersebut kurang lebih Rp 321 miliar.
Pada saat krisis, pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan bank tersebut dan mengalihkan utang antara perseroan dengan bank kepada pihak ketiga. Utang ini telah dialihkan beberapa kali sebelum dikonversi menjadi saham seri B dari Perseroan pada tahun 2008.
Pada tahun 2011, saham Seri B Perseroan telah dibeli oleh SCG Décor Public Company Limited (sebelumnya dikenal sebagai SCG Building Materials Co., Ltd.), anak usaha dari The Siam Cement Public Company Limited, Thailand, melalui Bursa Efek Indonesia sesuai dengan peraturan bursa yang berlaku.
Berdasarkan dokumen uji tuntas yang dilakukan pada saat ini oleh konsultan hukum terkemuka di Indonesia, Perseroan tidak pernah memiliki kewajiban kepada Pemerintah dan saham-saham dari Perseroan dan anak usahanya tidak pernah digadaikan atau dijaminkan kepada Pemerintah.
Lebih lanjut, sejak akuisisi tersebut tidak pernah ada penolakan atau tagihan dari pihak mana pun termasuk Pemerintah.
Setelah seluruh usaha dan kerja sama dengan lembaga pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara damai, termasuk dengan menyediakan seluruh informasi yang diminta dan membantu pembukaan rekening terpisah untuk menyita dividen dari Kaharudin Ongko dan afiliasinya, pemerintah bersikeras bahwa perseroan memiliki kewajiban keuangan kepada pemerintah dan mempertahankan pemblokiran akses Perseroan terhadap SABH.
Atas putusan-putusan di atas, Perseroan dan KKM sedang mempertimbangkan untuk menempuh prosedur banding dan upaya hukum lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Sampai dengan saat ini, belum terdapat dampak terhadap kegiatan usaha dan kondisi keuangan Perseroan yang timbul dari putusan-putusan tersebut karena belum berakhirnya upaya hukum dan mempertimbangkan sifat dari sengketa tata usaha negara," pungkasnya.
(ayh/ayh)