Ekonomi AS Masih Panas, Rupiah Sulit Menguat

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
30 May 2024 07:50
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak kabar genting dari Amerika Serikat (AS) membuat rupiah masih risiko melanjutkan tren pelemahan.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup terdepresiasi 0,44% di angka Rp16.155/US$ pada kemarin, Rabu (29/5/2024). Pelemahan rupiah ini senada dengan penurunan yang terjadi sehari sebelumnya (28/5/2024), sebesar 0,16%.

Sementara indeks dolar AS (DXY) pada kemarin pukul 14:55 WIB naik ke angka 104,63 atau menguat tipis 0,02%. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan penutupan kemarin yang berada di angka 104,61.

Lemahnya mata uang Garuda kembali terjadi ditengarai salah satunya akibat indeks kepercayaan konsumen AS naik pada Mei menjadi 102 dari 97,5 pada bulan sebelumnya.

Kondisi manufaktur AS juga terpantau mengalami penguatan ditandai oleh PMI Manufaktur AS Global S&P naik menjadi 50,9 pada Mei 2024, meningkat dari 50 pada bulan April.

Angka tersebut menunjukkan sedikit perbaikan secara keseluruhan pada kondisi bisnis di sektor manufaktur, karena output dan lapangan kerja memberikan kontribusi yang semakin positif.

Keyakinan konsumen yang meningkat dan perbaikan kondisi manufaktur menunjukkan daya beli masyarakat AS masih kuat di tengah kekhawatiran inflasi dan era suku bunga tinggi. Hal ini bisa memicu kebijakan hawkish bank sentral AS (The Fed) berlanjut.

Adapun inflasi AS saat ini berada di angka 3,4% year on year (yoy). Angka ini memang lebih rendah dibandingkan kenaikan pada Maret 2024 yang berada di angka 3,5% yoy.

Namun demikian, inflasi AS ini masih jauh di atas target The Fed yakni di angka 2%. Oleh karena itu, kebijakan higher for longer masih akan menjadi keputusan The Fed setidaknya dalam jangka waktu dekat.

Selain itu, ambruknya pasar keuangan Indonesia kemarin ditengarai melonjaknya yield obligasi pemerintah AS (US Treasury), di mana yield Treasury acuan tenor 10 tahun naik 5,6 basis poin (bp) menjadi 4,598%.

Kenaikan yield Treasury ini terjadi karena investor mempertimbangkan keadaan perekonomian Negeri Paman Sam dan mencerna lelang obligasi lima tahun yang buruk.

Tidak sampai disitu, pelaku pasar juga masih bersikap wait and see data inflasi PCE yang akan dirilis pekan ini. Data ini menjadi penting mengingat PCE akan menggambarkan kondisi ekonomi AS sebagai acuan kebijakan bank sentral AS atau the Fed ke depan juga.

Teknikal Rupiah

Pergerakan mata uang Garuda secara teknikal dalam basis waktu per jam menunjukkan tren masih dalam pelemahan. Jika masih berlanjut, rupiah potensi melemah ke resistance terdekat di Rp16.180/US$, posisi ini diambil dari low candle 2 Mei 2024, sebelum terjadi gap down.

Sebaliknya, jika ada pembalikan arah menguat, pelaku pasar bisa mencermati support terdekat di Rp16.130/US$ yang diambil berdasarkan high candle intraday 14 Mei 2024, sekaligus dekat dengan garis rata-rata selama 20 jam atau Moving Average/MA 20.

Pergerakan rupiah melawan dolar ASFoto: Tradingview
Pergerakan rupiah melawan dolar AS

CNBC INDONESIA RESEARCH


(tsn/tsn)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Masih Labil, Dolar Dibuka Turun Tipis ke Rp16.490

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular