
Perang Takjil Bikin Belanja Makanan RI Meroket di Atas 40%

Jakarta, CNBC Indonesia - Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menyoroti adanya fenomena perang takjil di Ramadan tahun ini. Hal itu menurutnya menunjukkan warga Indonesia hobi jajan, yakni dengan daya beli yang cenderung terkonsentrasi di sektor makanan dan minuman.
Ia memaparkan data Mandiri Spending Index menunjukkan data belanja masyarakat ke supermarket dan ke restoran (eating out) sudah mencapai di atas 40% di awal tahun ini. Padahal, awal tahun lalu hanya mencapai sekitar 30%.
"Saya tergelitik juga sama fenomena perang takjil. Itu kan menandakan emang orang tuh hobi jajan. Jadi memang spending-nya banyak di makanan," ujar pria yang akrab disapa Asmo itu di Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Menurutnya, konsumsi terutama pada sektor makanan dan minuman di bulan Ramadan tahun ini akan naik. Asmo menyebut hal positif dari tren ini adalah kenaikan konsumsi yang sebelumnya turun, kini mulai naik lagi.
"Jadi dari sisi konsumsi itu masyarakat semakin defensif. Semakin terkonsentrasi belanja yang makanan aja. Tapi positifnya memang dari trajektori-nya konsumsinya yang tadinya sempet turun, sekarang mulai naik lagi," kata dia.
Kendati demikian, kenaikan tren konsumsi masyarakat terjadi bersamaan dengan kenaikan komoditas pangan, yaitu beras. Dalam hal ini, bantuan sosial (bansos) dari pemerintah turut membantu dalam meningkatkan daya beli masyarakat.
Lantas, Asmo menyebut fenomena makan tabungan (mantab) sudah relatif flat. Ini juga tercermin dari data MSI yang menunjukkan tabungan masyarakat kelas bawah flat, tidak mengalami penurunan lagi.
"Itu tabungannya masih turun yang paling bawah. Mantab gitu. Cuma memang udah relatif flat gitu, ya. Karena bantuan bansosnya juga kenceng. Kalau dari konsumsi itu yang harus diperhatikan adalah konsumsi kelas menengahnya. Karena kelas menengah agak tergerus apalagi kelas menengah yang lower middle itu kalau harga beras naik kenceng, itu kemudian dia akan jatuh jadi konsumsinya sangat terbatas," imbuhnya.
Tetapi ini akan menimbulkan tantangan, yaitu tidak tersebarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di berbagai sektor. Asmo menyebutkan, selain sektor makanan, ada kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian hingga kesehatan yang akan tergerus daya belinya.
"Jadi pakaian secondary, tertiary gitu jadi terbatas tuh. Nah kan kita nggak mau pengen kayak gitu. Semuanya kan maunya nyebar gitu. Ke clothing, ke kesehatan, ke asuransi. Jadi terbatas, nah itu yang jeleknya di situ," kata Asmo.
(ayh/ayh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bank Mandiri Siapkan Rp 31,3 T Selama Ramadan dan Lebaran