
DPK Seret & Masyarakat Konsumtif, OJK Pede Kredit Multifinance Aman

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggandeng industri untuk menjaga kesehatan jumlah kredit macet atau Non Performing Financing (NPF) di tengah seretnya DPK dan peningkatan konsumsi masyarakat.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) Agusman mengatakan, pihaknya terus mengawasi pergerakan NPF melalui pengawasan on site dan off site. Penanganan pun dikerahkan jika NPF sudah mengkhawatirkan mendekati batas 5%.
"Kalau terlampau bisa minta action plan, itu bertahap. Ini ada semua di POJK-nya. Kalau SP ga diindahkan, ada Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU), dan Cabut Izin Usaha (CIU)," kata Agusman, dalam konferensi pers OJK, di Jakarta, Selasa, (5/3/2024).
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan, industri menjaga NPF melalui pemberian kredit yang selektif terhadap calon debiturnya.
"OJK meminta kami agar tidak disetujui kredit cepat saja. Jadi kita ingatkan ke masyarakat, jangan sekali-kali KTP-nya dipinjem," ungkap Suwandi.
Lebih jauh, terjaganya NPF bisa membawa efek domino pada penurunan bunga kredit bagi masyarakat. Menurut Suwandi, 97% debitur di perusahaan pembiayaan itu debitur yang baik.
"Kalau DPK seret, itu ga usah khawatir, kalau masyarakat tetap membayar utangnya dengan baik, itu bunga kredit bisa turun," jelasnya.
Kredit Multifinance VS Fenomena Makan Tabungan
Sebagai informasi, Penyaluran pembiayaan kredit kendaraan baru terus melesat di tengah seretnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan. Dengan kata lain, meski ada fenomena makan tabungan, masyarakat masih rajin membeli kendaraan baru.
OJK mencatat, sebanyak 52% pembiayaan di sektor multifinance bersifat konsumtif.
Menurut data statistik OJK per Desember 2023, pembiayaan motor dan mobil baru meningkat masing-masing 13,3% secara tahunan (yo) dan 15,3% yoy.
Lebih rinci, pembiayaan motor baru sepanjang 2023 naik ke angka Rp 78,46 triliun dari sebelumnya Rp69,23 triliun. Sementara pembiayaan mobil ikut terkerek ke Rp146,77 triliun dari sebelumnya Rp127,26 triliun.
Sementara itu pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam tiga bulan terakhir 2023 terbilang seret. Per Desember, DPK yang dihimpun bank hanya naik 3,8% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 8.234,2 triliun.
Giro menjadi komponen DPK dengan pertumbuhan yang paling banyak mengalami kontraksi pada penghujung tahun. Sebagai perbandingan, pada awal semester II/2023, giro tumbuh 13% yoy, sedangkan Desember 2023 hanya 3,9% yoy.
Kemudian tabungan dan deposito pada awal semester II/2023, masing-masing tumbuh 2,9% yoy dan 6,9% yoy. Per Desember 2023, kedua komponen naik 2% yoy dan 5,4% yoy.
Berdasarkan kepemilikan, dana milik korporasi di perbankan naik 5% yoy, lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya 3,1% yoy. Pada periode yang sama, dana perorangan naik 3,2% yoy, lebih rendah dari bulan sebelumnya, yakni 5,1% yoy.
Seretnya pertumbuhan DPK, diikuti dengan naiknya suku bunga deposito 1-12 bulan. Suku bunga deposito 1 bulan naik 21 basis poin (bps) menjadi 4,71%, deposito 3 bulan naik 26 bps menjadi 5,26%, deposito 6 bulan naik 20 bps menjadi 5,52%, dan deposito 12 bulan naik paling tinggi atau 37 bps menjadi 5,74%.
Fenomena makan tabungan pun bisa dilihat dari Survei konsumen Bank Indonesia pada Desember 2023 yang menunjukkan tingkat pengeluaran kelas menengah makin tinggi, ketika tingkat tabungannya semakin turun. Ramalan sejumlah ekonom mengenai fenomena 'makan tabungan' mulai menjadi kenyataan.
Survei BI pada bulan Desember tersebut memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi kelompok pengeluaran Rp 2,1 juta hingga Rp 3 juta per bulan meningkat dari 75,1% menjadi 76,3% dari pendapatan. Angka tersebut melebihi tingkat konsumsi rata-rata pada bulan Desember yang berada di kisaran 74,3%.
"Berdasarkan kelompok pengeluaran, rata-rata porsi konsumsi terhadap pendapatan terpantau menurun untuk hampir semua kelompok, kecuali responden dengan tingkat pengeluaran Rp2,1-3 juta per bulan," kata BI dalam siaran persnya, dikutip Rabu, (28/2/2024).
Kondisi ini menyebabkan tingkat tabungan kelompok pengeluaran yang tergolong kelas menengah bawah itu ikut merosot. Pada November kelompok masyarakat ini masih bisa menyisihkan 15,7% dari pendapatannya untuk ditabung. Sedangkan pada Desember, tingkat tabungan mereka merosot menjadi Rp 14,6% dari pendapatan.
Kondisi kelompok pengeluaran Rp 3,1 juta sampai Rp 4 juta tak jauh berbeda. Tingkat konsumsi mereka stagnan di angka 73,3%, sementara rasio tabungan ikut stagnan di angka 16,1%.
Keadaan keuangan yang dialami kelompok menengah tersebut kontras dengan kelompok menengah ke atas bahkan terhadap kelompok miskin. Kelompok pengeluaran Rp 1 juta sampai 2 juta justru mengalami penurunan tingkat konsumsi dari 75,8% menjadi 75,2% pada Desember. Rasio tabungan mereka ikut naik dari 15,8% menjadi 16,7%.
Peningkatan tabungan kelompok warga miskin itu terjadi bersamaan dengan dimulainya pencairan Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino. Pemerintah Presiden Jokowi mulai mencairkan bantuan senilai Rp 400.000 itu pada 13 Desember 2023. Pencairan dilakukan lewat dua cara, yakni dikirim lewat pos dan ditransfer langsung ke rekening penerima.
Sementara itu, kelompok pengeluaran Rp 4,1 juta-Rp 5 juta dan kelompok pengeluaran di atas Rp 5 juta juga mengalami penurunan tingkat konsumsi. Tingkat tabungan mereka juga tetap meningkat.
"Porsi tabungan terhadap pendapatan terindikasi meningkat pada hampir seluruh tingkat pengeluaran, terutama pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta per bulan," tulis BI.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article OJK: Kredit Macet Multifinance Naik 0,10% Jelang Tahun Baru