Rupiah Loyo, Tapi Tak Seburuk Thailand
Jakarta, CNBC Indonesia-Bank Indonesia menyatakan Rupiah cukup tertekan pada bulan Februari ini. Namun, depresiasi terhadap mata uang Rupiah jauh lebih baik dari negara-negara tetangga, salah satunya Thailand.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan lembaganya terus mengambil kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Hasilnya, nilai tukar rupiah tetap terjaga meskipun mengalami depresiasi sebesar 1,43%.
"Per 16 Februari memang rupiah mengalami perlambatan sebesar 1,43%, namun apabila dibandingkan negara lain kita masih dalam taraf cukup baik," kata dia dalam diskusi Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Jumat, (23/2/2024).
Dia mengatakan pelemahan Rupiah itu disebabkan oleh gejolak global yang tinggi khususnya di Amerika Serikat dan juga USD Yield yang masih sangat tinggi. "Ini karena gejolak global yang tinggi khususnya yang terjadi di Amerika Serikat dan juga USD Yield yang masih sangat tinggi," kata dia.
Destry mengatakan meski demikian volatilitas Rupiah hingga saat ini juga masih terjaga. Menurut dia, volatilitas mata uang RI ini mencapai 6,9%. Angka tersebut, kata dia, jauh lebih rendah ketimbang negara lain, seperti Baht Thailand.
"Itu jauh dari negara peer kita, contoh volatilitas Thailand itu mencapai 12,26% untuk volatilitasnya," kata dia.
Direktur Bisnis Kecil dan Menengah BRI Amam Sukriyanto menambahkan ada 4 faktor yang menentukan gerak rupiah pada tahun 2024. Dua faktor pertama adalah indeks dollar Amerika serikat dan kondisi geopolitik.
"Kami masih melihat bahwa nilai Rupiah yang sangat dipengaruhi oleh indeks dollar AS dan situasi geopolitik," kata Amam.
Amam melanjutkan faktor ketiga penentu gerak rupiah adalah perbedaan (gap) suku bunga acuan Bank Indonesia dan The Federal Reserve (The Fed). Sementara faktor keempat, kata dia, adalah kondisi transaksi neraca berjalan Indonesia. "Gap suku bunga dan kondisi transaksi neraca berjalan Indonesia," kata dia.
Untuk menjaga stabilitas nilai rupiah, dia mengatakan sangat penting bagi Bank Indonesia untuk menjaga gap antara BI Rate dengan Fed Fund Rate. Dengan demikian, level Rupiah dapat menunjang stabilisasi Rupiah.
"Maka ini menjadi sangat penting untuk menjaga gap antara BI Rate dan FFR di level yang rasional, sehingga bisa menunjang stabilisasi rupiah," kata dia.
Amam optimis capital inflow cukup besar didorong oleh kondisi perekonomian Indonesia yang cukup baik. Menurut dia, arus masuk modal tersebut juga ditopang oleh kondisi pasar di Indonesia yang lebih baik dibandingkan ekonomi di Asia Tenggara maupun global.
"Ini memang ditopang karena pasar Indonesia lebih menarik dibandingkan ekonomi di kawasan maupun global," kata dia.
(rsa/mij)