Dolar AS Perkasa, Bagaimana Nasib Rupiah Pasca BI Tahan Suku Bunga?
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah masih tertekan melawan dolar Amerika Serikat (AS) yang perkasa, padahal kemarin Rabu (17/1/2024) Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga.
Melansir data Refinitiv, mata uang Garuda pada perdagangan kemarin ditutup di posisi Rp15.635/US$ atau turun sebesar 0,32%. Posisi ini merupakan yang terparah sejak 13 Desember 2023 atau sekitar satu bulan terakhir.
Pelemahan rupiah yang masih terjadi disinyalir karena tekanan indeks dolar AS (DXY) yang masih lanjut menguat. Pada penutupan kemarin, DXY menguat nyaris 1%, kemudian berlanjut lagi pada hari ini (18/1/2024) hingga pukul 01.30 WIB naik 0,23% ke posisi 103,56. Selama sebulan terakhir, DXY sudah terapresiasi di atas 2%.
Di sisi lain, pelemahan rupiah ini malah terjadi tatkala Bank Indonesia (BI) mengumumkan kembali menahan suku bunga acuan atau BI rate untuk yang ketiga kalinya sejak Oktober 2023. Tampaknya keputusan BI kali ini belum bisa menjadi obat kuat untuk menguatkan rupiah kemarin.
Sebagai catatan, hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Januari 2024 menghasilkan suku bunga acuan atau BI rate ditahan di level 6%, kemudian suku bunga Deposit Facility kini berada di posisi 5,25% dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.
Beralih ke hari ini, rupiah tampaknya masih akan bergerak volatile lantaran dari ada kabar genting dari AS dan China.
Dari negeri Paman Sam terlebih dahulu, saat ini kondisi ekonomi nya masih panas, tercermin dari data penjualan ritel untuk periode Desember 2023 yang diluar dugaan melambung 0,6% secara bulanan, padahal pasar memproyeksi hanya tumbuh 0,4% mtm dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 0,3% mtm.
Dalam basis tahunan, penjualan ritel AS juga meleset dari ekspektasi dengan pertumbuhan 5,6% yoy, dibandingkan konsensus sebesar 4% yoy. Hal ini semakin mengkonfirmasi inflasi konsumen AS untuk periode yang sama tidak terduga juga kembali memanas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) AS, Inflasi konsumen pada Desember 2023 meningkat 3,4% yoy, lebih panas dibandingkan konsensus pasar yang proyeksi hanya naik 3,2% yoy dan bulan sebelumnya sebesar 3,1% yoy.
Sementara itu, pada periode yang sama untuk inflasi inti AS tumbuh melandai 3,9% dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4% yoy. Hanya saja, jika dibandingkan perkiraan pasar sebesar 3,8% yoy, inflasi inti saat ini masih lebih panas.
Angka inflasi terbaru AS kemungkinan akan membuat the Fed lebih berhati-hati dalam menyatakan kemenangan dalam perjuangan melawan inflasi, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.
Sementara itu, dari China pada kemarin Rabu mencatatkan pertumbuhan ekonomi untuk kuartal IV/2023 di 5,2% yoy, masih lebih rendah dibandingkan konsensus sebesar 5,3% yoy. Pertumbuhan tersebut jadi yang paling rendah sejak tiga dekade terakhir, di luar tahun pandemi.
Ekonomi China yang lesu membuat pemerintah mempertimbangkan mengeluarkan stimulus jumbo melalui obligasi khusus "ultra long" sebesar satu triliun yuan atau US$ 139 miliar atau setara Rp2166 triliun (asumsi kurs Rp15.585/US$).
Teknikal Rupiah
Secara teknikal dalam basis waktu per jam, rupiah melawan dolar AS terpantau dalam tren melemah. Depresiasi rupiah selama beberapa hari terakhir telah menghantarkan mata uang Garuda menutup gap down yang sempat terjadi pada 14 Desember 2023, pada itu saat rupiah menguat kencang sekitar 1%-nan.
Dengan tertutup-nya gap, maka posisi tersebut menjadi support baru rupiah menjadi target penguatan terdekat di Rp15.610/US$. Posisi ini juga berdekatan dengan garis rata-rata selama 20 jam atau moving average 20 (MA200).
Kendati begitu, karena tren masih melemah tetap perlu diantisipasi adanya pelemahan lanjutan ke resistance terdekat di Rp15.655/US$, posisi ini didapatkan dari high candle yang pernah diuji secara intraday pada 13 Desember 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)