Market Commentary

Habis Cetak Rekor IHSG Balik Lesu, Saham Ini Biang Keroknya

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Rabu, 03/01/2024 11:12 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau melemah pada perdagangan sesi I Rabu (3/1/2024), setelah kemarin mencetak rekor terbaru sepanjang masanya.

Per pukul 11:01 WIB, IHSG melemah 0,37% ke posisi 7.296,24. Koreksi IHSG terjadi setelah pada penutupan perdagangan kemarin mencetak rekor terbaru sepanjang masa di 7.323,59


Nilai transaksi indeks pada perdagangan sesi I hari ini mencapai sekitaran Rp 3 miliar dengan melibatkan 9,7 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 591.542 kali. Sebanyak 220 saham menguat, 270 saham melemah, dan 211 saham stagnan.

Secara sektoral, sektor konsumer primer menjadi pemberat IHSG di sesi I hari ini, yakni sebesar 0,65%. Namun, sektor teknologi dapat menahan koreksi IHSG yakni mencapai 0,83%.

Selain itu, beberapa saham juga memperberat (laggard) IHSG pada sesi I hari ini. Berikut saham-saham yang menjadi laggard IHSG.

EmitenKode SahamIndeks PoinHarga TerakhirPerubahan Harga
Bank Rakyat Indonesia (Persero)BBRI-5,885.650-0,44%
Bank Central AsiaBBCA-5,229.375-0,53%
Bank Mandiri (Persero)BMRI-4,616.075-0,82%
Sumber Alfaria TrijayaAMRT-2,812.830-2,08%
Adaro Energy IndonesiaADRO-2,582.420-2,81%
Barito Renewables EnergyBREN-1,967.550-0,66%
United TractorsUNTR-1,9223.050-1,81%
Barito PacificBRPT-1,631.355-2,17%
Bayan ResourcesBYAN-1,6219.8000,75%
Telkom Indonesia (Persero)TLKM-1,203.9800,25%

Sumber: Refinitiv & RTI

Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) kembali menjadi pemberat terbesar IHSG pada sesi I hari ini, yakni mencapai 5,9 indeks poin.

IHSG yang berbalik arah ke zona merah cenderung mengikuti pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan perdana 2024, di mana indeks Nasdaq anjlok 1,63% dan indeks S&P melemah 0,57% kemarin.

Indeks S&P 500 dan Nasdaq ambles karena saham-saham teknologi kembali berjatuhan meski ada prediksi bahwa era suku bunga tinggi akan berakhir di 2024. Jatuhnya saham teknologi di AS terjadi setelah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali menyentuh 4%.

Pergerakan yieldUS Treasury tersebut mencerminkan ekspektasi investor yang lemah terhadap pemotongan suku bunga AS tahun ini. Hal ini, pada gilirannya, membebani saham-saham yang sedang berkembang di antaranya saham-saham teknologi yang akan mendapatkan keuntungan dari lingkungan suku bunga yang lebih menguntungkan.

Risalah pertemuan kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terakhir di 2023 yakni Desember dan sejumlah data pasar tenaga kerja akankeluar pada pekan ini karena para pelaku pasar akan memastikan waktu potensi penurunan suku bunga.

Perangkat FedWatch CME Group menunjukkan The Fed diperkirakan akan mempertahankan suku bunga pada pertemuan Januari, para pelaku pasar memperkirakan peluang penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) pada Maret sebesar 70%.

Sentimen cenderung negatif juga datang dari China, di mana data aktivitas manufaktur (PMI) China tercatat masih berada di zona kontraksi tepatnya di level 49.

Pada Minggu (31/12/2023), China telah merilis PMI manufaktur NBS yang menunjukkan kembali menurun berada di level 49 untuk periode Desember atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di angka 49,4 maupun ekspektasi pasar di angka 49,5.

Kontraksi ini merupakan dampak dari aktivitas pabrik selama tiga bulan berturut-turut dan laju tertajam dalam enam bulan terakhir. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pemulihan akibat pelemahan properti, risiko deflasi, dan meningkatnya tantangan global.

Aktivitas ekonomi China yang terus melambat berdampak negatif bagi ekspor-impor termasuk neraca dagang Indonesia terhadap China maupun secara total.

Di lain sisi, dari dalam negeri sentimen terkait pertumbuhan ekonomi 2023 juga akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan RI.

Pasalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers realisasi APBN 2023, Selasa (2/1/2024) mengatakan ekonomi Indonesia diperkirakan akan tumbuh 5,05% pada 2023.

Laju pertumbuhan tersebut akan di bawah target APBN yakni 5,3%. Melesetnya target pertumbuhan pada tahun lalu menjadi tren negatif pemerintahan era Joko Widodo (Jokowi) yang hampir selalu gagal memenuhi target pembangunan.

Selama sembilan tahun memimpin Indonesia secara penuh (2015-2023), Jokowi hanya mampu memenuhi target pertumbuhan pada 2022. Itupun dengan catatan yakni karena basis pertumbuhan pada 2021 sangat rendah.

CNBC INDONESIA RESEARCH

market@cnbcindonesia.com

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PHK Mengancam, Saham Ini Bisa Jadi Sumber Cuan Darurat