
Sri Mulyani Akui Rupiah Lebih Lemah Daripada Target

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pasca aktivitas manufaktur China semakin melemah dan indeks dolar AS (DXY) yang terus menguat.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah di angka Rp15.465/US$ atau terdepresiasi 0,45%. Hal ini berbanding terbalik dari penguatan yang terjadi pada penutupan perdagangan Jumat (29/12/2023) sebesar 0,13%.
Sementara DXY pada pukul 14.52 WIB naik 0,12% menjadi 101,45. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan Jumat (29/12/2023) yang berada di angka 101,33.
Pelemahan rupiah hari ini terjadi pasca data aktivitas manufaktur (PMI) China tercatat masih berada di zona kontraksi tepatnya di level 49.
Pada Minggu (31/12/2023), China telah merilis PMI manufaktur NBS yang menunjukkan kembali menurun berada di level 49 untuk periode Desember atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di angka 49,4 maupun ekspektasi pasar di angka 49,5.
Kontraksi ini merupakan dampak dari aktivitas pabrik selama tiga bulan berturut-turut dan laju tertajam dalam enam bulan terakhir. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pemulihan akibat pelemahan properti, risiko deflasi, dan meningkatnya tantangan global.
Aktivitas ekonomi China yang terus melambat berdampak negatif bagi ekspor-impor termasuk neraca dagang Indonesia terhadap China maupun secara total.
Selain itu, nilai tukar rupiah tertekan cukup dalam selama 2023. Secara rata-rata, rupiah mencapai Rp15.255/US$ atau di atas asumsi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu Rp14.800/US$.
"Nilai tukar kita Rp15.255/US$ ini menunjukkan lebih lemah dibanding asumsi yang Rp14.800/US$," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita di Gedung Djuanda, Kementerian Keuangan, Selasa (2/1/2024).
Salah satu alasannya akibat kebijakan bank sentral AS (The Fed) yang terus mengetatkan suku bunganya bahkan hingga empat kali dengan total sebesar 100 basis poin (bps).
Alhasil, kuatnya DXY mendorong investor untuk berinvestasi di AS daripada di emerging market seperti Indonesia. Atau dengan kata lain terjadinya capital outflow dari Indonesia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jelang Data Inflasi AS, Rupiah Dibuka Stagnan
