Rupiah Perlahan Jauhi Level Rp15.500, Bagaimana Hari Ini?

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
04 December 2023 08:30
Petugas menghitung uang  dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022)
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan lalu, rupiah berhasil menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditopang derasnya dana asing yang masuk berkat tekanan global yang mereda dan data domestik yang masih resilient.

Melansir data Refinitiv, pada akhir perdagangan Jumat (1/12/2023) rupiah ditutup di posisi Rp15.480/US$, terapresiasi 0,16% secara harian. Penguatan tersebut membawa rupiah kembali ke level Rp 15.400 setelah sempat terjatuh ke level Rp 15.500 per dolar pada satu hari sebelumnya.

Sepanjang pekan lalu, nilai tukar rupiah menguat sebanyak empat kali dan hanya melemah satu hari. Dalam sepekan, mata uang Garuda ditutup menguat 0,51%, ini menjadi kabar baik setelah melemah 0,45% pada pekan sebelumnya.

Penguatan mata uang Garuda ditopang oleh derasnya dana asing yang masuk ke pasar keuangan Tanah Air.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) terkait transaksi per 27-30 November 2023 menunjukkan investor asing net buy sebesar Rp 15,92 triliun. Pembelian di pasar saham mencapai Rp 4,94 triliun sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 10,6 triliun.

Inflow tersebut menjadi yang tertinggi sepanjang 2023. Catatan terbaik sebelumnya adalah pada pekan ketiga Januari sebesar Rp 14,8 triliun. Inflow pada pekan ini juga melanjutkan tren positif di mana net buy sudah berlangsung selama tiga pekan berturut-turut.

Dana asing tetap mengalir deras meski kekhawatiran sempat muncul karena Indonesia mulai menggelar pesta akbar kampanye pemilihan umum dan pemilihan presiden (pilpres) 2024. Kampanye digelar mulai Selasa (28/11/2023) hingga 10 Februari 2024.

Dana asing mengalir deras setelah pasar semakin optimis jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan melunak. Perangkat CME FedWatch tool menunjukkan 97,1% pelaku pasar melihat The Fed masih akan menahan suku bunga pada Desember mendatang. Artinya, hingga akhir tahun suku bunga masih berada di level 5,25-5,50%.

Pelaku pasar bahkan memproyeksi bank sentral akan segera memangkas suku bunga pada Maret 2024. Keyakinan ini muncul setelah inflasi AS dan data Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) AS melandai. Kedua faktor ini menjadi pertimbangan penting The Fed dalam menentukan kebijakan.

Inflasi AS melandai ke 3,2% (year on year/yoy) pada Oktober 2023, dari 3,7% (yoy) pada September 2023. Sementara, PCE Oktober 2023 tercatat stagnan 0% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 3% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka ini lebih rendah dari posisi September lalu yang sebesar 0,4% (mtm) dan 3,4% (yoy).

Angka PCE Oktober juga lebih rendah dari konsensus pasar dalam Trading Economics yang memperkirakan naik 0,2% (mtm) dan 3,1% (yoy).

Adapun inflasi PCE inti, yang tidak termasuk harga makanan dan energi, naik 0,2% (mtm) dan 3,5% (yoy) pada bulan ini. Kedua angka tersebut selaras dengan konsensus Dow Jones. Optimisme pelaku pasar akan melandainya The Fed menekan dolar AS dan imbal hasil US Treasury.

Melansir data Refinitiv, indeks dolar sempat bergerak di level 102 pada Selasa dan Rabu (29/11/2023) pekan ini atau berada di level terendah selama tiga bulan terakhir.

Pada Rabu imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun jatuh ke 4,27%. Posisi tersebut adalah yang terendah sejak 14 September 2023 atau sekitar 2,5 bulan terakhir.

Sejalan dengan tekanan global yang mereda, data domestik juga masih menunjukkan resiliensi, dimana kondisi manufaktur masih dalam ekspansi dan inflasi masih terjaga sesuai target BI.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi Indonesia pada November 2023 yang naik menjadi 2,86% (year on year/yoy) atau lebih tinggi dibandingkan konsensus.

Sebelumnya konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 institusi memperkirakan inflasi November 2023 akan mencapai 0,24% dibandingkan bulan sebelumnya (mtm). Hasil polling juga memperkirakan inflasi tahunan (yoy) akan berada di angka 2,72% pada November lalu.

"Kelompok pengeluaran penyebab inflasi bulanan terbesar November 2023 adalah makanan, minuman, dan tembakau yaitu 1,23% dengan andil inflasi 0,32%," ujar Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh. Edy Mahmud dalam rilis BRS, Jumat (1/12/2023).

Namun inflasi yang meningkat ini tidak menjadi kekhawatiran bagi pelaku pasar mengingat saat ini angkanya masih berada dalam rentang target inflasi BI yakni antara 2-4%.

Hal lain yang menjadi pendorong rupiah yakni PMI manufaktur Indonesia yang mengalami kenaikan dibandingkan periode sebelumnya.

PMI manufaktur Indonesia naik tipis ke angka 51,7. Angka ini merupakan perbaikan setelah indeks PMI terjun ke 51,5 pada Oktober 2023, level terendah dalam lima bulan terakhir. PMI sempat jatuh selama dua bulan beruntun pada September dan Oktober 2023.

PMI manufaktur Indonesia sudah berada dalam fase ekspansif selama 27 bulan terakhir. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

Teknikal Rupiah

Dalam basis waktu per jam, secara teknikal rupiah masih kokoh dalam tren penguatan-nya mengikuti garis rata-rata selama 200 jam atau moving average (MA 200).

Garis tersebut juga menjadi resistance terbaru rupiah di posisi Rp15.520/US$, oleh karena itu jika ada pembalikan arah melemah pelaku pasar bisa mewaspadai area ini.

Kendati begitu, tren penguatan yang kokoh masih potensi menghantarkan rupiah lanjut menguat ke support terdekat di Rp15.415/US$. Posisi ini didapatkan dari garis horizontal berdasarkan low candle 20 November 2023.

Pergerakan rupiah melawan dolar ASFoto: Tradingview
Pergerakan rupiah melawan dolar AS

CNBC INDONESIA RESEARCH


(tsn/tsn)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tunggu Rilis Data Inflasi, Kuatkah Rupiah Hari Ini?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular