
Rupiah Unjuk Gigi di Tengah Inflasi AS Masih Panas

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) meskipun data inflasi AS masih relatif panas.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditupup di angka 15.685/US$ atau menguat 0,03% terhadap dolar AS. Posisi ini senada dengan penguatan pada penutupan perdagangan kemarin (11/10/2023) yang juga menguat 0,25% dan terkuat sejak 6 Oktober 2023.
Sementara indeks dolar AS (DXY) pada Kamis (12/10/2023) pukul 14.58 WIB, berada di posisi 105,69 atau turun 0,12% jika dibandingkan penutupan perdagangan Rabu (11/10/2023) yang ditutup di angka 105,82.
Malam hari kemarin (11/10/2023), AS telah merilis data Inflasi harga produsen (PPI) di Amerika Serikat. Secara bulanan, PPI September melandai ke 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya 0,7%, hanya saja masih lebih panas dari perkiraan pasar di 0,3% Sementara dalam basis tahunan, PPI malah 2,2% dibandingkan bulan Agustus sebesar 2% dan ekspektasi pasar di 1,6%.
Sementara pada malam hari ini akan dirilis data inflasi konsumen (CPI) yang digadang bakal menjadi data penting yang melandasi keputusan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) nantinya.
Sebagai informasi, Inflasi AS per September 2023 diproyeksikan bisa tumbuh 3,6% secara tahunan (yoy), melandai dari bulan sebelumnya 3,7% yoy. Sedangkan inflasi inti AS diharapkan turun ke 4,1% yoy dibanding sebelumnya 4,3% yoy.
Secara keseluruhan nilai ekspektasi masih jauh di atas target the Fed di kisaran 2%, sepertinya tahun ini tidak memungkinkan untuk mencapai ke target tersebut. Saat ini fokus lebih pada ekspektasi pasar, apabila inflasi tumbuh lebih lambat maka pelaku pasar perlu waspada. Pasalnya, inflasi yang masih panas akan memicu the Fed tetap hawkish.
Berdasarkan perangkat CME FedWatch, 8,6% pelaku pasar bahwa The Fed menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps) pada Federal Open Market Committee (FOMC) November mendatang. Sedangkan 26% pelaku pasar justru meyakini kenaikan tersebut terjadi pada Desember 2023.
Selain itu, pada Kamis dini hari (12/10/2023), risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) atau FOMC Minutes menunjukkan mayoritas partisipan melihat satu lagi kenaikan di masa depan akan menjadi keputusan yang tepat tetapi sebagian lagi melihat tidak perlu ada kenaikan.
"Kebijakan akan tetap terbatas untuk beberapa waktu sampai Komite percaya diri jika inflasi AS sudah bergerak ke target sasaran," tulis risalah FOMC.
Untuk diketahui, Ekonom The Fed mencatat bahwa perekonomian telah terbukti lebih tangguh dari perkiraan tahun ini, namun mereka menyebutkan sejumlah risiko. Pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja otomotif, misalnya, diperkirakan akan "sedikit" memperlambat pertumbuhan dan mungkin meningkatkan inflasi, namun hanya bersifat sementara.
Risalah tersebut menyatakan bahwa konsumen terus melakukan pembelanjaan, meskipun para pejabat khawatir tentang dampak dari kondisi kredit yang lebih ketat, berkurangnya stimulus fiskal dan dimulainya kembali pembayaran pinjaman mahasiswa.
"Banyak peserta mengatakan bahwa keuangan beberapa rumah tangga berada di bawah tekanan di tengah tingginya inflasi dan menurunnya tabungan, serta adanya peningkatan ketergantungan pada kredit untuk membiayai pengeluaran," kata notulen tersebut.
Ketidakpastian ekonomi AS, dinamisnya data ekonomi AS, dan ketatnya pasar keuangan membuat The Fed lebih berhati-hati. Pasar kini melihat jika The Fed telah beralih fokus bukan lagi pada berapa kenaikan tetapi seberapa lama suku bunga tinggi akan dipertahankan.
Jika suku bunga AS mengalami kenaikan dengan sikap hawkish The Fed, maka hal ini akan menekan pasar keuangan Indonesia termasuk nilai tukar rupiah. Capital outflow pun terjadi dari pasar keuangan Indonesia salah satunya SBN karena imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun lebih menarik dengan rating yang jauh lebih baik dibandingkan surat utang Indonesia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer