BI Maju Mundur Kena, Rupiah Bisa Semakin Tertekan
Jakarta, CNBC Indonesia - Senior Executive Vice President Treasury and International Banking BCA Branko Windoe memperkirakan, Bank Indonesia (BI) akan menghadapi dilema yang kuat menghadap arah kebijakan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve, pada November 2023 mendatang.
Branko mengatakan, jika The Fed dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) itu memutuskan kebijakan suku bunga AS kembali naik menjadi setara suku bunga BI-7 day reverse repo, maka opsi BI cuma menjadi dua, menaikkan suku bunga kebijakan atau kembali mempertahankan.
Namun, Branko mengingatkan kedua opsi itu hasilnya akan sama, yakni rupiah akan terus tertekan. Di satu sisi, dia mengatakan ini karena semakin tipisnya selisih imbal hasil atau yield aset antara di AS dan Indonesia yang menyebabkan aliran modal asing keluar dan likuiditas valas mengering.
Di sisi lain, bila kebijakan suku bunga dilakukan kenaikan merespons kenaikan di AS, maka akan menekan laju pertumbuhan negara-negara ekonomi berkembang seperti Indonesia di tengah tren inflasi yang rendah, tidak seperti di AS.
"Jadi kalau sekarang di US tingkat suku bunganya naik, di Indonesia punya dua pilihan, satu pilihan suku bunga ikut naik atau tidak naik therefore mata uang rupiah bisa tertekan," kata Branko dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Selasa (10/10/2023).
Dengan kondisi ini, Branko mengatakan, Bank Indonesia tentu akan terus menggencarkan intervensi di pasar spot, DNDF, maupun pembelian SBN di pasar sekunder demi menjaga supaya pelemahan rupiah tidak ambruk terlalu dalam.
"Biasanya kita akan melihat akan terjadi smoothening ya, jadi kalau misal terjadi pelemahan di Indonesia kita lihat central bank melalui triple interventionnya akan menjaga koridor pergerakan mata uang rupiah supaya pergerakannya tidak terlalu liar," tuturnya.
"Karena kalau di Indonesia ketika tingkat suku bunga acuannya mengalami adjustment, tentunya kembali ke equilibrium, jadi nothing happened, tentu rupiah itu harus melemah ke level-level yang lebih lemah lagi," ucap Branko.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menambahkan, selain triple intervention BI memerlukan langkah ekstra untuk menjaga likuiditas dolar AS di dalam negeri. Dengan begitu, ketika dolar AS terus menguat dan rupiah tertekan, dari sisi pasokan masih akan tersedia untuk menjaga stabilitas nilai tukarnya.
"Tentu saja dengan pressure permintaan dari USD yang semakin tinggi, dengan adanya capital outflow satu bulan terakhir, dan supply USD yang juga relatif semakin turun karena neraca perdagangan kita dibanding tahun lalu semakin turun, kemudian BI keluarkan beberapa kebijakan untuk tetap jaga likuiditas valas," kata Andry.
Kebijakan yang saat ini bisa ditempuh untuk menjaga pasokan dolar itu menurut Andry sudah ada dikeluarkan BI dan pemerintah, di antaranya adalah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) serta kebijakan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE) yang harus semakin diperkuat.
"Saya rasa kata kuncinya bagaimana kita tetap meningkatkan supply atau likuiditas valas di dalam negeri ini, kemudian BI bisa smoothing dari volatilitas nilai tukar rupiah karena adanya pressure dari USD terhadap mata uang regional," ungkapnya.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp 15.685/US$ kemarin (9/10/2023) atau melemah 0,51% terhadap dolar AS.
Posisi ini berkebalikan dengan penutupan perdagangan Jumat (6/10/2023) yang menguat 0,03%. Bahkan di tengah perdagangan, rupiah sempat melemah hingga menyentuh level psikologis baru yakni Rp15.700/US$.
Sementara indeks dolar AS (DXY) pada Senin (9/10/2023) pukul 15.07 WIB, berada di posisi 106,56 atau naik 0,49% jika dibandingkan penutupan perdagangan Jumat (6/10/2023) yang berada di posisi 106,04.
(haa/haa)