
Saham Tambang Bikin IHSG Tumbang 1% Lebih

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau ambles pada perdagangan sesi I Rabu (4/10/2023), di mana emiten pertambangan menjadi pemberat terbesar IHSG pada sesi I hari ini.
Hingga pukul 12:00 WIB, IHSG ambles 1,05% ke posisi 6.867,69. IHSG terkoreksi ke level psikologis 6.800 pada sesi I hari ini.
Emiten pertambangan mendominasi laggard atau pemberat IHSG pada sesi I hari ini, di mana saham PT Bayan Resources Tbk (BYAN) menjadi pemberat terbesar IHSG pada sesi I hari ini, yakni mencapai 3,8 indeks poin. Saham BYAN sendiri ambles 1,23% ke posisi Rp 18.000/unit.
Berikut emiten pertambangan raksasa yang membebani IHSG pada sesi I hari ini.
Emiten | Kode Saham | Indeks Poin | Harga Terakhir | Perubahan Harga |
Bayan Resources | BYAN | -3,79 | 18.000 | -1,23% |
United Tractors | UNTR | -2,24 | 26.425 | -2,13% |
Merdeka Copper Gold | MDKA | -1,76 | 2.460 | -2,38% |
Adaro Energy Indonesia | ADRO | -1,67 | 2.640 | -1,86% |
Merdeka Battery Materials | MBMA | -1,76 | 755 | -4,43% |
Sumber: Refinitiv
Emiten pertambangan RI berjatuhan dan membebani IHSG karena pergerakan komoditas global yang juga cenderung lesu akibat potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) yang masih akan terjadi setidaknya hingga akhir tahun ini.
Inventor kini memprediksi suku bunga dapat lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama. Biaya pinjaman yang lebih tinggi berdampak negatif bagi dunia usaha dan konsumen.
Menurut Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic mengatakan tidak ada urgensi bagi bank sentral untuk menaikkan suku bunga kebijakannya lagi, namun kemungkinan akan memakan waktu yang lama sebelum penurunan suku bunga dianggap tepat.
Sedangkan menurut Presiden The Fed Cleveland, Loretta Mester mengatakan dia terbuka untuk menaikkan suku bunga lagi, kemungkinan pada pertemuan bank berikutnya.
Sementara itu, ekspektasi pasar mengenai kebijakan ketat The Fed semakin kencang. Perangkat FedWatch Tool menunjukkan sekitar 30,9% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bp pada November mendatang. Angka ini lebih besar dibandingkan pekan lalu yang hanya 14%.
The Fed yang masih akan hawkish setidaknya hingga akhir tahun ini, bahkan hingga awal tahun depan membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali mencetak rekor tertingginya sejak 2007.
Yield Treasury acuan tenor 10 tahun naik 19 basis poin (bp) ke posisi 4,821%, nyaris menyentuh 5% dan menjadi yang tertinggi sejak 2007 silam.
Ketika yield Treasury kembali melonjak, maka investor cenderung menahan investasinya dan juga cenderung menghindari aset berisiko seperti saham dan juga berinvestasi di komoditas.
Alhasil, koreksi pun tak terhindarkan karena investor cenderung mengamankan portofolionya dengan melakukan aksi profit taking dan menanti hingga kondisi pasar sudah lebih kondusif.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dua Hari di Zona Merah, IHSG Kembali Menguat
