Masif Energi Bersih, Nyala Emiten Batu Bara Sulit Padam

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
Jumat, 29/09/2023 17:10 WIB
Foto: Bongkar Muat Batu bara di Terminal Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah pihak menilai nyala energi fosil belum akan redup, meski seberapa pun gencarnya kampanye net zero emission, termasuk peluncuran bursa karbon yang belum lama ini dilakukan pemerintah.

Mantan Direktur Utama PT Busa Efek Jakarta (BEJ) Hasan Zein mengatakan, transformasi energi membutuhkan waktu yang panjang dan dana sangat besar. Sementara kebutuhan energi sesuatu yang tidak bisa ditangguhkan.


"Produksi listrik dunia pada 2022 sebesar 29.165 terawatt. Naik 2,3% dibanding tahun sebelumnya. Porsi EBT - angin, matahari, panas bumi - memang meningkat, tapi batu bara tetap merupakan sumber energi utama, dengan porsi masih lebih dari 35%," ujar Hasan melalui pesan singkat, Jumat, (29/9/2023).

Ia menambahkan, bahan bakar fosil, saat ini masih merupakan 80% lebih sumber energi global. Sementara pembangkit nuklir menunjukkan penurunan 4%. Cuaca ekstrem juga menurunkan produksi hydropower di China dan India

Hal ini membuat China sebagai konsumen lebih dari 50% batu bara di dunia tetap menunjukkan kenaikan permintaan batu bara. Impor batu bara China tahun ini diperkirakan naik 100 juta ton, menjadi 330 juta ton.

Dengan begitu, Hasan menilai, emiten yang bergerak di bidang minyak bumi, nampaknya akan menikmati panen raya, paling tidak sampai tahun depan. Sementara di industri batu bara, masa keemasan emiten tahun 2022, mungkin tak akan terulang.

"Tapi kiamat batu bara masih jauh panggang dari api," tandasnya.

Di sisi lain, Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan menganggap rencana jangka panjang untuk peralihan meninggalkan energi fosil ke EBT menjadi sentimen negatif terbesar di sektor batu bara.

"Namun kami meyakini para emiten-emiten batu bara telah mulai melakukan adaptasi seperti diversivikasi komoditi tambang, masuk ke bisnis EBT dan melakukan R&D untuk produk turunan Batubara yang bernilai tinggi," ungkap Alfred saat dihubungi CNBC Indonesia.

Apalagi, tambahnya, proses peralihan energi tersebut bisa berlangsung dalam jangka panjang, lebih dari 8 tahun. Ini tentu memberikan waktu yang banyak bagi produsen-produsen besar batu bara kita.

"Dengan karakteristik emiten-emiten batubara memiliki Dividen Yield tinggi, membuat saham-saham emiten batu bara masih menarik. Dengan keberhasilan adaptasi tersebut maka produsen-produsen tersebut akan mampu menjaga Going Concern bisnis perusahaan," tutur Alfred.

Diketahui, adanya bursa karbon menghendaki aturan PTBAE (persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Gas Rumah kaca) atau pajak karbon. Nantinya, realiasai aturan ini pasti akan meningkat biaya perusahaan batu bara.

Sementara itu, Mayoritas emiten batu bara terpantau melemah pada akhir perdagangan Selasa (26/9/2023), setelah diluncurkannya bursa karbon di Indonesia.

Dari 20 saham batu bara RI, 17 saham terpantau melemah, dua saham cenderung stagnan, dan sisanya yakni hanya satu saham yang masih menguat.

Saham PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) menjadi yang paling parah koreksinya pada hari ini, yakni ambruk 8,36% ke posisi Rp 1.315/saham.

Tak hanya ADMR, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) juga koreksinya cukup parah yakni ambles 6,1% menjadi Rp 2.770/saham. Saham ADRO menjadi yang paling parah koreksinya di antara saham raksasa batu bara lainnya.

Hanya saham PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE) yang ditutup menguat pada hari ini, yakni melonjak 4,76% menjadi Rp 66/saham

Pada perdagangan hari ini, Jumat (29/9/2023), pelemahan saham batu bara masih berlanjut. ADMR ditutup pada level Rp 1.305, turun 3,69% dibandingkan dengan harga pembukaan. 

Begitu pula dengan ADRO yang turun 0,7% ke level Rp 2.850. Pada periode yang sama FIRE terpantau stagnan, yakni Rp 63. 


(mkh/mkh)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Transisi Energi Dipercepat, Emiten Batu Bara Mulai Lirik EBT