
Tren Rupiah Masih Melemah, Akankah Hari Ini Berbalik Arah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air tutup pada perdagangan kemarin, Kamis (28/9/2023), tetapi jika menilik perdagangan sebelumnya pada Rabu (27/9/2023) mencatat rupiah masih tak berdaya melawan dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir dari Refinitiv, Rupiah masih saja mencatatkan kinerja mengecewakan. Pada perdagangan Rabu (28/9/2023) rupiah ditutup di angka Rp15.515/US$ atau melemah 0,19% terhadap dolar AS.
Pelemahan rupiah terjadi selain dari aspek global, juga ada dampak dari repatriasi dividen. Pelaku pasar juga masih merasakan ketidakpastian atas kebijakan bank sentral AS Federal Reserve (The Fed). Suku bunga acuan AS dinilai masih berpotensi naik satu kali sampai akhir tahun.
Hal ini The Fed lakukan untuk memenuhi target inflasi AS yakni 2%. Untuk diketahui, AS mencatatkan inflasi sebesar 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus 2023, naik dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.
Tingginya suku bunga AS dan sikap The Fed yang masih akan hawkish memberikan dampak capital outflow dari negara berkembang termasuk Indonesia. Suku bunga The Fed yang berpotensi menyamai suku bunga Bank Indonesia (BI) akan memicu investor menarik dana dan memindahkannya ke AS yang notabene merupakan negara maju dan rating surat utangnya lebih menarik.
Tak hanya itu, rupiah yang masih tersungkur di hadapan dolar AS disinyalir akibat investor yang terus melepas Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini tercermin dari kenaikan imbal hasil yang mencapai 6,89% untuk SBN dengan tenor 10 tahun pada perdagangan Rabu lalu. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak Maret 2023 atau enam bulan terakhir.
Hari ini ada sejumlah sentimen yang bakal mewarnai nilai tukar rupiah baik dari global maupun domestik. Pada Kamis (28/9/2023) AS merilis data pembacaan terakhir pertumbuhan ekonomi untuk kuartal kedua tahun ini. Produk domestik bruto (PDB) meningkat pada tingkat tahunan sebesar 2,1% yang belum direvisi pada kuartal terakhir, kata pemerintah dalam estimasi ketiga PDB untuk periode April-Juni.
Hal ini sejalan dengan ekspektasi para ekonom. Penurunan pertumbuhan belanja konsumen ke tingkat 0,8% yang lebih rendah dari angka 1,7% yang dilaporkan sebelumnya diimbangi oleh revisi kenaikan yang tajam terhadap investasi bisnis di pabrik-pabrik di tengah dorongan pemerintahan Joe Biden untuk membawa kembali manufaktur semikonduktor ke AS.
Inflasi juga tetap tinggi dan kondisi pasar tenaga kerja yang ketat terus terjadi, dengan jumlah orang Amerika yang mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran sedikit meningkat pada minggu lalu.
Beberapa ekonom percaya ketahanan perekonomian dikombinasikan dengan inflasi yang tinggi dapat memberikan amunisi bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga lagi pada bulan November. Namun, pihak lain memperkirakan kondisi perekonomian yang suram akan membuat bank sentral AS enggan melakukan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut.
"Berita besarnya bukanlah tidak ada yang berubah, namun perekonomian tetap tangguh, inflasi tetap tinggi dan skenario terburuk The Fed, stagflasi, telah dapat dihindari untuk saat ini," kata Chris Zaccarelli, kepala investasi di Independent Advisor Alliance di Charlotte, Carolina Utara yang dikutip dari Reuters.
Sementara itu, pasar tenaga kerja diperkirakan akan tetap ketat untuk beberapa waktu. Laporan kedua dari Departemen Tenaga Kerja pada Kamis (28/9/2023) menunjukkan klaim awal tunjangan pengangguran negara naik 2.000 menjadi 204.000 untuk pekan yang berakhir 23 September. Jumlah ini di bawah proyeksi ekonom yang memperkirakan 215.000 sehingga ekspektasi The Fed masih akan hawkish pun menguat.
Kemudian, ada juga data pembacaan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi terbaru. Pembacaan PCE adalah metrik inflasi pilihan The Fed. Pelaku pasar juga patut mencermati pidato pejabat The Fed yang akan memberikan sinyal-sinyal terkait suku bunga.
Dari dalam negeri, sentimen akan datang dari pengumuman tingkat suku bunga Lembaga Penjamin Simpanan serta dampak larangan berjualan di media sosial oleh pemerintah.
Sebagai catatan, pada Mei lalu, LPS mempertahankan tingkat bunga penjaminan bank umum tetap 4,25% bank perekonomian rakyat (BPR) 6,75, serta valuta asing di bank umum 2,25%. LPS diproyeksi akan menahan suku bunga sejalan dengan kebijakan moneter Bank Indonesia.
Teknikal Rupiah
Secara teknikal dalam basis waktu per jam, rupiah masih dalam tren pelemahan. Posisi Rp15.540/US$ yang diambil dari high candle yang sempat tersentuh pada Rabu (26/9/2023) menjadi resistance yang perlu dicermati sebagai target pelemahan yang bisa diuji kembali dalam pendek.
Di sisi lain, tetap perlu diperhatikan support terdekat apabila ada pembalikan arah menguat di posisi Rp15.510/US$ yang diambil berdasarkan garis rata-rata selama 20 jam atau moving average 20 (MA20), jika posisi tersebut tertembus ke bawah, peluang menguji level psikologis Rp15.500/US$ makin meningkat.
![]() Pergerakan rupiah melawan dolar AS |
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbal dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tunggu Rilis Data Inflasi, Kuatkah Rupiah Hari Ini?