
Rusia Longgarkan Larangan Ekspor, Harga BBM Tak Jadi Terbang?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia dibuka tak kompak pada pembukaan perdagangan Selasa (26/9/2023) setelah Rusia melonggarkan larangan ekspor bahan bakar.
Hari ini harga minyak mentah WTI dibuka menguat 0,22% di posisi US$89,88 per barel, sementara minyak mentah brent dibuka melemah tipis 0,01% ke posisi US$93,28 per barel.
Pada perdagangan Senin (25/9/2023), minyak WTI ditutup turun 0,39% ke posisi US$89,68 per barel, sementara harga minyak brent ditutup menguat tipis 0,02% ke posisi US$93,29 per barel.
Harga minyak hampir mulai stabil dalam perdagangan yang berombak pada hari Senin karena Rusia melonggarkan larangan bahan bakar dan investor mengamati kenaikan suku bunga yang dapat membatasi permintaan.
Harga minyak mentah turun pekan lalu setelah kebijakan The Federal Reserve yang agresif mengguncang pasar keuangan global dan menimbulkan kekhawatiran bahwa suku bunga akan tetap lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga menghambat permintaan minyak. Hal ini menghentikan reli tiga minggu lebih dari 10% setelah Arab Saudi dan Rusia membatasi pasokan dengan memperpanjang pengurangan produksi hingga akhir tahun.
"Pasar mungkin masih bergulat dengan The Fed yang mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu lebih lama, yang dapat berdampak pada sisi permintaan," ucap Andrew Lipow, presiden Lipow Oil Associates.
Rusia menyetujui perubahan larangan ekspor bahan bakar, mencabut pembatasan bahan bakar yang digunakan sebagai bahan bakar untuk beberapa kapal dan solar dengan kandungan sulfur tinggi, berdasarkan pengumuman pemerintahan pada hari Senin.
Larangan ekspor semua jenis bensin dan solar berkualitas tinggi, yang diumumkan Kamis lalu, tetap berlaku.
Pekan lalu Moskow mengeluarkan larangan ekspor, sementara ekspor bensin dan solar ke sebagian besar negara untuk menstabilkan pasar domestik, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan rendahnya pasokan produk saat Belahan Bumi Utara memasuki musim dingin.
Hal lain yang membebani harga minyak adalah indeks dolar AS yang menguat ke level tertinggi sejak November 2022. Penguatan greenback membuat minyak yang dihargakan dalam dolar AS lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga membatasi permintaan.
Di sisi penawaran, jumlah rig minyak yang beroperasi di AS turun delapan menjadi 507 pada minggu lalu, jumlah terendah sejak Februari 2022 meskipun harga lebih tinggi, menurut laporan mingguan dari Baker Hughes pada hari Jumat.
Yang semakin memperparah kendala pasokan, kilang-kilang minyak AS diperkirakan akan memiliki kapasitas offline sekitar 1,7 juta barel per hari (bph) untuk pekan yang berakhir 29 September, sehingga mengurangi kapasitas penyulingan yang tersedia sebesar 324.000 barel per hari, menurut perusahaan riset IIR Energy pada hari Senin.
Kapasitas offline diperkirakan meningkat menjadi 1,9 juta barel per hari pada pekan yang berakhir 6 Oktober, tambah IIR.
Di Iran, sebuah ledakan dilaporkan pada hari Senin di kilang selatan Iran, Bandar Abbas, menurut kantor berita resmi IRNA, menyusul kebocoran gas.
Ekspektasi data ekonomi yang lebih baik pada minggu ini dari Tiongkok, importir minyak mentah terbesar di dunia, mengangkat sentimen. Namun, para analis menandai bahwa harga minyak menghadapi resistensi teknis pada level tertinggi November 2022 yang dicapai minggu lalu.
Sektor manufaktur Tiongkok diperkirakan akan berkembang pada bulan September, dengan indeks pembelian manufaktur diperkirakan akan naik di atas 50 untuk pertama kalinya sejak bulan Maret.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(saw/saw)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Dunia Terbang 15% Bulan Juli, Ulah Kartel OPEC+?
