Inflasi AS Naik, Tapi Respons Joe Biden Bikin Rupiah Menguat
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah rilis data inflasi AS dan ekspektasi pasar untuk menahan suku bunga AS.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka menguat tipis 0,03% terhadap dolar AS di angka Rp15.360/US$ pada hari Kamis (14/9/2023). Posisi ini mematahkan tren pelemahan rupiah selama bulan September ini.
Sementara indeks dolar AS (DXY) juga turut mengalami depresiasi dan berada di angka 104,65 atau turun dari penutupan perdagangan kemarin (13/9/2023) yang berada di posisi 104,76.
Kemarin (13/9/2023) pukul 19.30 WIB telah dirilis data inflasi AS terpantau tumbuh 3,7% (year on year/yoy) menjadi 307,026 poin pada periode Agustus 2023, lebih panas dibandingkan ekspektasi pasar yang diproyeksikan tumbuh 3,6% (yoy) dan bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.
Tingkat inflasi tahunan di AS meningkat selama dua bulan berturut-turut disertai dengan harga minyak yang telah meningkat dalam dua bulan terakhir.
Kendati demikian, inflasi inti melandai sesuai perkiraan ke 4,3% (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 4,7%. Kendati begitu, nilainya masih jauh di atas target bank sentral AS (the Fed) di level 2%.
Harga gas merupakan kontributor terbesar terhadap percepatan inflasi AS pada bulan Agustus, yang mencakup lebih dari separuh kenaikan tersebut.
Dilansir dari cnn.com, indeks inflasi bensin melonjak 10,6% di bulan Agustus dibandingkan bulan sebelumnya, naik tajam dari kenaikan 0,2% di bulan Juli. Indeks energi keseluruhan, termasuk bensin, naik 5,6% di bulan Agustus dari bulan Juli. Meningkatnya biaya tempat tinggal terus berdampak pada inflasi.
Hal ini pun dipertegas oleh Presiden AS, Joe Biden yang mengatakan bahwa inflasi secara keseluruhan juga telah turun secara signifikan selama setahun terakhir, tetapi kenaikan harga bahan bakar pada bulan lalu memberikan tekanan pada anggaran keluarga.
Maka dari itu, Biden akan tetap berfokus pada pengurangan biaya energi, termasuk dengan berinvestasi pada energi ramah lingkungan untuk meningkatkan keamanan energi AS.
Selain itu, ekonom senior di Wells Fargo, Sarah House mengatakan bahwa harga energi yang fluktuatif tidak akan mencegah perlambatan inflasi dalam beberapa bulan mendatang.
"Efek penerusan dari harga energi terhadap inflasi inti kecil, dibandingkan dengan penurunan yang kita lihat dari sektor lain," ujar Sarah kepada CNN.
"Harga energi yang menguat, jika berkelanjutan, dapat berdampak pada sektor inti dan membuat pekerjaan The Fed lebih sulit dalam mengembalikan inflasi ke target 2% secara berkelanjutan, namun saya pikir kita akan melihat dinamika tersebut perihal kenaikan harga energi. Lebih lanjut, terus berkurangnya sebagian distorsi pasokan dan bahkan permintaan yang telah kita lihat sejak pandemi," katanya.
Sementara Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan tekanan kepada pasar keuangan akan berlanjut hari ini. Inflasi inti AS memang melandai dan ini menjadi kabar baik tetapi secara keseluruhan head inflation AS meningkat tajam.
Sedangkan jika dilihat dari survei perangkat CME FedWatch, tercatat 96% the Fed menahan suku bunganya di rentang 5,25-5,50%. Sedangkan 4% lainnya mengatakan bahwa the Fed berpotensi menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps).
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
(rev/rev)