Minim Sentimen Positif, Rupiah Masih Bergerak Loyo

rev, CNBC Indonesia
Selasa, 12/09/2023 09:13 WIB
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah sikap wait and see pasar terkait inflasi AS.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka melemah tipis 0,07% terhadap dolar AS di angka Rp15.330/US$ pada hari Selasa (12/9/2023). Posisi ini memperpanjang tren pelemahan rupiah sejak 1 September 2023 dan merupakan posisi terlemah sejak 15 Agustus 2023.

Sejalan dengan pelemahan rupiah, indeks dolar AS (DXY) mengalami apresiasi di angka 104,62 atau menguat dibandingkan penutupan kemarin (11/9/2023) yang berada di angka 104,57.


Gairah pasar di pasar keuangan Indonesia mengalami kelesuan termasuk rupiah pasca rilis data penjualan ritel yang tidak memberikan optimisme serta sikap wait and see pasar perihal data inflasi AS.

Dari domestik tercatat penjualan ritel Indonesia yang meningkat sebesar 1,6% (year on year/yoy) pada Juli 2023. Sedangkan secara bulanan, penjualan ritel turun 8,8% di bulan Juli, penurunan paling tajam sejak Juni 2022.

Kendati penjualan ritel bertumbuh secara tahunan tetapi nilainya jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yang bisa mencapai 7,9% yoy. Perlu diketahui, Juli tak ada hari raya sehingga penjualan ritel yang tumbuh melambat merefleksikan daya beli masyarakat belum terlalu atraktif di kondisi ekonomi normal.

Indikator ekonomi lainnya yakni cadangan devisa (cadev) pun mengalami penurunan sebesar US$0,6 miliar menjadi US$137,1 miliar. Penurunan ini menjadi kurang baik bagi rupiah karena kemampuan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah pun mengalami penurunan.

Sedangkan dari sisi eksternal, pada Rabu (13/9/2023), akan dirilis data inflasi AS pukul 19.30 WIB. Melansir platform penghimpun data, Trading Economic inflasi umum AS diperkirakan akan melonjak ke 3,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.

Inflasi AS semakin tak terkendali mengingat harga minyak telah mengalami lonjakan harga yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir.

Selama sebulan terakhir hingga perdagangan yang berakhir 11 September 2023, Brent crude futures melesat 6,26% ke US$90,94 per barel, sementara WTI crude futures naik 6,42% ke US$87,27per barel.

Kenaikan harga minyak terjadi karena ketatnya pasokan akibat Saudi Arabia, salah satu negara produsen minyak terbesar dunia yang tergabung dalam OPEC+ menyatakan akan melanjutkan pemangkasan produksi sekitar 1 juta barel per hari hingga akhir 2023.

Dengan semakin tingginya inflasi AS, maka sikap bank sentral AS (The Fed) untuk mengetatkan kebijakannya dengan mengambil sikap hawkish semakin tak terbendung, mengingat the Fed sendiri menargetkan target inflasi AS berada di kisaran 2%.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com


(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini:

Video: "Syarat" Suku Bunga BI Bisa Turun Lebih Cepat Dari The Fed