
Rupiah Gak Buruk Banget di Asia, Berkat Jokowi Effect?

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Tanah Air yakni rupiah pada pekan ini kembali mencatatkan kinerja yang kurang menggembirakan. Namun, rupiah masih lebih baik dari beberapa mata uang asia lainnya.
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah melemah 0,46% secara point-to-point (ptp) di hadapan dolar AS. Dengan ini, maka rupiah sudah melemah selama lima pekan beruntun.
Pada perdagangan Jumat (18/8/2023), rupiah pun tak berkutik banyak di hadapan The Greenback, di mana rupiah ditutup stagnan di level Rp 15.280/US$.
Adapun dari mata uang asia, mayoritas juga kalah melawan The Greenback sepanjang pekan ini. Hanya peso Filipina dan dolar Taiwan yang sanggup melawan The Greenback.
Sedangkan untuk rupiah, meski sudah merana selama lima pekan beruntun, tetapi sepanjang pekan ini, rupiah bukanlah menjadi yang terburuk. Masih ada mata uang Asia lainnya yang justru lebih parah koreksinya yakni ringgit Malaysia.
Dolar AS yang sedang kuat-kuatnya membuat rupiah tak berdaya selama lima pekan beruntun dan terus berada di atas level Rp 15.000/US$. Makin kuatnya dolar AS terjadi karena masih kuatnya data tenaga kerja, naiknya kembali inflasi AS, dan kekecewaan pasar akan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih akan hawkish.
Data tenaga kerja yang masih cukup kuat dibuktikan dengan data klaim pengangguran mingguan terbaru. Jumlah pekerja yang mengajukan klaim pengangguran pada pekan yang berakhir pada 12 Juli 2023 sebanyak 239 ribu atau turun 11.000 dari pekan sebelumnya yakni 250.000.
Turunnya klaim pengangguran menandai pasar tenaga kerja AS masih panas sehingga inflasi bisa sulit turun tajam.
Sebelumnya, inflasi AS sedikit meningkat pada Juli 2023 menjadi 3,2% (year-on-year/yoy), dari sebelumnya 3% pada Juni lalu atau lebih rendah daripada ekspektasi pasar yakni 3,3% yoy. Sedangkan target inflasi The Fed yakni 2% yoy.
Hal tersebut semakin menambah ketidakpastian di pasar, pasalnya The Fed melawan inflasi dengan menaikkan suku bunga. Oleh sebab itu, sikap The Fed tersebut diproyeksi pasar masih bisa ketat lagi untuk pertemuan selanjutnya di sisa akhir tahun ini.
Untuk diketahui, The Fed pada bulan lalu telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bp) ke posisi 5,25% - 5,50%. Pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) September 2023, ada peluang bagi The Fed untuk menaikkan 25 basis poin menjadi 5,50% - 5,75%.
CME Fedwatch Tool terbaru menunjukkan probabilitas kenaikan suku bunga sebesar 25 bp sebesar 11%. Namun, probabilitas yang memperkirakan The Fed menahan suku bunga acuannya mencapai 89%.
Meski masih belum mampu melawan The Greenback, tetapi rupiah sudah mulai membaik pada pekan ini. Mulai membaiknya rupiah terjadi setelah Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Pidato Kenegaraan.
Rupiah pun menguat setelah Jokowi menyampaikan Pidato Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024.
Dalam Pidato Kenegaraan, Jokowi sangat menekankan pentingnya hilirisasi bagi Indonesia ke depan.
Ia menyadari program hilirisasi, terutama dengan adanya kebijakan larangan ekspor mineral mentah seperti bijih nikel yang telah dilakukan sejak 2020 sebagai upaya mendorong hilirisasi di Tanah Air, terasa pahit bagi pengekspor mineral mentah.
Namun dia memastikan, pada akhirnya program hilirisasi ini akan berbuah manis.
Dia menambahkan sebagai gambaran, setelah Indonesia menghentikan ekspor bijih nikel (nickel ore) pada 2020, investasi hilirisasi nikel tumbuh pesat. Jokowi menyebut, kini telah ada 43 pabrik pengolahan nikel yang akan membuka peluang kerja yang sangat besar.
Jokowi menjabarkan, berdasar hitung-hitungan perkiraan dalam 10 tahun, pendapatan per kapita Indonesia akan capai Rp 153 juta (US$ 10.900).
Dalam 15 tahun, pendapatan per kapita akan capai Rp 217 juta (US$ 15.800). Dan dalam 22 tahun, pendapatan per kapita akan capai Rp 331 juta (US$ 25.000). Sebagai perbandingan, tahun 2022 kemarin, pendapatan per kapita Indonesia berada di angka Rp 71 juta.
Penegasan ini sepertinya menjadi sentimen positif pelaku pasar sehingga rupiah ikut menguat. Kelanjutan hilirisasi akan menguntungkan Indonesia dalam mendongkrak nilai ekspor sehingga membantu penguatan rupiah.
Dalam Pidato Presiden Republik Indonesia Pengantar RAPBN 2024 dan Nota Keuangannya, pemerintah mengajukan asumsi nilai tukar di angka Rp15.000/US$1 untuk tahun depan.
Sedangkan asumsi inflasi diajukan sebesar 2,8% atau lebih rendah dibandingkan inflasi saat ini periode Juli 2023 di angka 3,08%. Selain itu, asumsi makro untuk suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun diajukan sebesar 6,7%.
Pemerintah mengajukan defisit anggaran sebesar Rp 522,8 triliun aau 2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit anggaran sebesar 2,29% dari PDB adalah yang terendah sejak 2019 (2,20% dari PDB).
Defisit sebesar Rp 522,8 triliun berdasarkan hitungan belanja negara sebesar Rp3.304,1 triliun sementara pendapatan negara sebesar Rp2.781,3 triliun.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Beruntung Rupiah Libur, Mata Uang Asia Kalah Lawan Dolar AS