Minyak Menguat, Efek Optimisme OPEC pada Permintaan 2024

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
Jumat, 11/08/2023 08:50 WIB
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia di buka bervariasi pada pembukaan perdagangan Jumat (11/8/2023) setelah penurunan tajam pada perdagangan sebelumnya karena kekhawatiran tentang pelemahan ekonomi China.

Harga minyak mentah WTI di buka menguat tipis 0,01% di posisi US$82,83 per barel, sedangkan harga minyak mentah brent di buka melemah 0,03% ke posisi US$86,37 per barel.


Pada perdagangan Kamis (10/8/2023), minyak WTI di tutup anjlok 1,87% ke posisi US$82,82 per barel, begitu juga minyak brent terjun 1,31% ke posisi US$86,4 per barel.

Harga minyak berusaha kembali menguat pada awal perdagangan Jumat di tengah optimisme dari kelompok produsen OPEC bahwa permintaan minyak akan kuat pada tahun 2024 karena ekspektasi pertumbuhan ekonomi global yang dapat meningkat.

Harga minyak mentah dunia brent maupun WTI masih bertahan di level di US$80 per barel karena didukung perpanjangan pengurangan produksi oleh Arab Saudi dan Rusia, di samping kekhawatiran pasokan yang didorong oleh potensi konflik antara Rusia dan Ukraina di wilayah Laut Hitam yang mengancam pengiriman minyak Rusia.

Organisasi Negara Pengekspor Minyak mengatakan pada hari Kamis bahwa mereka memperkirakan permintaan minyak dunia akan meningkat sebesar 2,25 juta barel per hari (bpd) pada tahun 2024, dibandingkan dengan pertumbuhan 2,44 juta bpd pada tahun 2023. Kedua perkiraan tersebut tidak berubah dari bulan lalu.

Pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi yang solid di tengah perbaikan berkelanjutan di China diperkirakan akan mendorong konsumsi minyak.

Kemudian data harga konsumen AS untuk periode Juli yang dirilis pada hari Kamis memicu spekulasi bahwa Federal Reserve mendekati akhir dari siklus kenaikan suku bunga yang agresif.

Namun masih ada pemberat kenaikan harga minyak yang lebih tinggi dari China. Data minggu ini menunjukkan sektor konsumen di China jatuh ke dalam deflasi dan penurunan aktivitas manufaktur memperpanjang penurunan di bulan Juli, meningkatkan kekhawatiran tentang permintaan bahan bakar di ekonomi terbesar kedua di dunia.


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


(saw/saw)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Iran-Israel Bikin Harga Komoditas Naik, RI Diuntungkan?