
Soal Akuisisi Saham Vale (INCO), Hal Ini Harus Jadi Prioritas

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adinegara menilai penerapan Environmental, Social, and Corporate Governance (ESG) di Indonesia memang sudah dimulai tetapi sebagian lainnya masih parsial pada scope 1. Lalu terkait dengan persoalan divestasi saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO), pemerintah disarankan untuk bisa menyelaraskan implementasi ESG yang sudah berjalan baik.
"Harusnya dengan kontrol pemerintah melalui BUMN dalam akuisisi saham Vale, bisa diselaraskan dengan ESG yang lebih baik," kata Bhima dalam wawancara kepada media di Jakarta.
Bhima menjelaskan maksud dari fase ESG scope 1 yang sekarang ini baru dilakukan di Indonesia, yakni penghematan energi. Sementara, pada scope 3 seperti pembahasan terkait dengan rantai pasok yang perlu dipastikan mematuhi standar lingkungan dan tata kelola yang baik, menurut dia, masih belum terlaksana secara baik.
"Untuk scope 3 memang perlu didorong, sebagai contoh perusahaan baterai kendaraan listrik harus memastikan bahan baku nikel diperoleh dari sumber yang tidak menimbulkan dampak lingkungan negatif, dan memberi perlindungan yang baik ke para pekerja. Ke depan perlu diantisipasi adanya standar disclosure atau keterbukaan sustainibility risk perusahaan publik dalam IFRS 1 dan IFRS 2," kata Bhima, di Jakarta, Rabu (26/7).
Menurutnya, pengusaha perlu dituntut juga untuk membuka perkembangan ESG kepada investor publik, sehingga ada monitor yang ketat terhadap rating dan klaim ESG.
Selain itu, pemerintah juga harus mendorong BUMN untuk lebih menerapkan ESG. Sebab, selama ini, belum sepenuhnya BUMN menerapkan ESG.
"Terlihat dari taksonomi hijau dan kewajiban ESG bagi BUMN belum sepenuhnya ideal. ada beberapa problem misalnya pendanaan perbankan ke PLTU batu bara masih berlangsung," ujar Bhima.
Bhima pun menilai penggunaan batu bara dalam proses produksi tidak akan mendukung Indonesia mencapai penerapan ESG yang baik. Selain itu, menurut dia, hal tersebut menjadi kontradiksi dengan upaya pensiun dini PLTU batu bara serta komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi bersih.
"Problemnya biaya pinjaman untuk mendanai proyek ini akan jadi lebih mahal. Beberapa proyek PLTU baru di kawasan hilirisasi tidak banyak didanai oleh perbankan luar negeri. Banyak yang melihat proyek PLTU secara finansial terlalu mahal dan mempengaruhi citra perusahaan yang terlibat," kata Bhima.
Oleh karena itu, Bhima mengingatkan bahwa BUMN dan dunia industri harus meninggalkan hilirisasi yang tidak sejalan dengan prinsip ESG. Salah satu contohnya, kata Bhima, upaya deinvestasi MIND ID yang akan dilakukan kepada PT Vale Indonesia harus terus menerapkan sistem ESG. Jangan sampai kembali pada penggunaan batu bara.
"Perlu meninggalkan proses hilirisasi yang tidak sejalan dengan ESG. Lalu dengan kontrol pemerintah melalui BUMN dalam akuisisi saham Vale, harusnya bisa diselaraskan dengan ESG yang lebih baik," katanya merespons persoalan saham Vale Indonesia yang sekarang ini masih terjadi tarik ulur antara MIND Id dan pihak Vale.
(rob/ayh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kinerja Memble & Konsesi Mau Habis, Saham INCO Bakal Dijauhi?