Lagi Bagus-bagusnya, RI Malah Apes Gara-gara Amerika!

Redaksi, CNBC Indonesia
03 August 2023 11:45
U.S. dollar and Euro banknotes are seen in this picture illustration taken May 3, 2018. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Foto: REUTERS/Dado Ruvic

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia tengah berada dalam laju perekonomian yang bagus. Ekonomi berhasil tumbuh di atas 5% dalam 7 kuartal, inflasi rendah dan transaksi berjalan mampu untuk surplus dalam jangka waktu lama.

Nilai tukar rupiah tadinya juga dalam tren penguatan. Akan tetapi, situasi di Amerika Serikat (AS) membuat pasar keuangan bergejolak. Rupiah pun jadi korbannya.

Dilansir dari Refinitiv, Rupiah melemah 0,03% terhadap dolar AS ke level Rp 15.175/US$1. Pelemahan ini terjadi tiga hari beruntun dan merupakan yang terparah sejak 10 Juli 2023.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto mengungkapkan situasi ini disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu situasi AS. Meski demikian, pasokan dan permintaan valas di pasar domestik masih terkendali.

"Mudah-mudahan sentimennya lebih bersifat temporer. Kondisi supply-demand valas di pasar domestik tetap terkendali, BI tetap akan berada di pasar untuk tetap memastikan keseimbangan supply-demand tersebut," tutur Edi.," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (3/8//2023).

Sebelumnya pada Rabu pagi waktu Indonesia, lembaga pemeringkat rating yakni Fitch Ratings mengumumkan untuk menurunkan peringkat surat utang AS dari AAA menjadi AA+ yang merupakan konsekuensi dari dampak persoalan plafon utang pada Mei lalu.

Penurunan atau downgrade peringkat utang AS dapat membuat ketidakpastian global kembali meninggi dan tentunya membuat volatilitas pasar semakin membesar, termasuk di pasar keuangan Indonesia. Selain itu, sentimen lain yang bisa menggerakkan pasar hari ini adalah data tenaga kerja terbaru di AS. Data terbaru menunjukkan bahwa sektor tenaga kerja masih cukup kuat dan dapat membuat The Fed belum akan merubah sikap hawkish-nya.

Perusahaan pemrosesan penggajian ADP melaporkan perolehan pekerjaan mencapai 324.000 pada bulan lalu, dengan 201.000 berasal dari pekerjaan perhotelan dan rekreasi. Itu jauh di atas 175.000 tambahan yang diperkirakan ekonomi Dow Jones.

Meski begitu, angka ini lebih rendah dari periode Juni lalu, di mana ada 455.000 lapangan kerja yang tersedia. Namun, masih ada beberapa data tenaga kerja di AS yang akan dirilis pada pekan ini, sehingga data-data berikutnya akan terus dipantau oleh pasar dan tentunya Bank Sentral AS (The Fed).

Hari ini, AS akan mengumumkan data klaim pengangguran yang berakhir pada pekan 29 Juli 2023. Jumlah pekerja AS yang mengajukan klaim pengangguran diprediksi bisa meningkat ke 227.000 dibandingkan pekan sebelumnya di 221.000.


Sementara besok akan rilis data penggajian selain di sektor pertanian atau non-farm payroll yang diperkirakan bisa turun ke 200.000 dari bulan sebelumnya 209.000. Serta, tingkat pengangguran di negeri paman Sam diharapkan bisa bertahan di level 3,6%.

Sentimen lain bisa datang dari Inggris. Bank Sentral (Bank of England/BoE) akan mengumumkan hasil rapat pertemuan kebijakan moneter terbarunya. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan BoE akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bp menjadi 5,25%. Kenaikan ini mungkin kembali terjadi setelah BoE mengejutkan pasar dengan peningkatan besar-besaran pada Juni lalu.

BoE yang diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuannya kembali hari ini juga disebabkan karena inflasi di Inggris masih cukup tinggi dan juga masih cukup jauh dari target yang ditetapkan sebesar 2%, meski inflasi Juni lalu sudah tampak mereda.

Sebelumnya, inflasi Inggris turun secara signifikan pada Juni 2023 menjadi 7,9% secara tahunan (year-on-year/YoY), sekaligus berada di bawah ekspektasi para ekonom sebesar 8,2% (yoy). Adapun, inflasi pada bulan sebelumnya yakni Mei 2023 mencapai 8,7% (yoy).

Direktur Surat Utang Negara (SUN) Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan indikator ekonomi RI sangat baik sehingga bisa menjadi 'senjata' kuat untuk melawan gejolak eksternal.

Contohnya yakni inflasi yang terus melandai, pertumbuhan ekonomi yang sangat kuat, dan outlook defisit APBN 2023 yang lebih rendah yakni 2,28% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

'Senjata' ini diharapkan bisa kembali menarik investor saat kepanikan mereka reda.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Heran! RI Diserbu Asing, Rupiah & Saham Bakal Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular