Awas Dunia Makin Kacau, Rupiah Bisa Kena Hantam
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Republik Indonesia (Menkeu RI) Sri Mulyani Indrawati memperingatkan dampak inflasi tinggi di negara maju terhadap nilai tukar mata uang negara berkembang.
Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani membeberkan bahwa tekanan inflasi di negara maju masih relatif tinggi meskipun saat ini trennya sedang dalam penurunan.
"[Tekanan inflasi] dipengaruhi oleh perekonomian yang masih tetap kuat dan pasar tenaga kerja yang relatif ketat," ungkap Sri Mulyani usai rapat KSSK, Selasa (1/8).
Kondisi tersebut diperkirakan akan kembali mempengaruhi kebijakan moneter negara maju, dengan kenaikan suku bunga acuan, khususnya dari negeri Paman Sam yang belum lama ini baru saja menaikkan policy rate (Federal Fund Rate/FFR) 25 basis poin (bps).
"Perkembangan ini sebabkan aliran modal ke negara-negara berkembang akan menjadi lebih selektif," lanjut Sri Mulyani.
Dirinya menambahkan konsekuensi mengerikan lainnya termasuk meningkatkan potensi tekanan terhadap nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk ke Indonesia.
Saat ini, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah masih berada di atas level psikologi Rp 15.000/US$. Rupiah masih urung balik ke bawah level psikologi tersebut, bahkan setelah aturan terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE) disahkan pemerintah.
"Oleh karena itu, diperlukan penguatan respons kebijakan untuk [Indonesia] dapat memitigasi risiko hambatan global tersebut," terang Sri Mulyani.
Meskipun demikian, dirinya tetap mengemukakan optimismenya, khususnya terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik dan ini didukung permintaan domestik yang juga kuat.
"Ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tetap memiliki kepercayaan yang tinggi dan kita melihat tren ekspansi aktivitas manufaktur yang seperti terlihat dari PMI Manufaktur yang pada Juli 2023 mengalami kenaikan lagi," pungkas Sri Mulyani.
(fsd/fsd)