2025 Seluruh PLTU Masuk Bursa Karbon, Kiamat Batu Bara Nyata?
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang melakukan finalisasi Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) tentang bursa karbon.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan, hal ini sesuai target pemerintah untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89% dengan usaha sendiri dan sebesar 43,2% dengan bantuan partisipasi internasional pada 2030.
"Tentunya ini menjadi penyemangat dan meningkatkan rasa optimis untuk dapat menyelenggarakan perdagangan perdana unit karbon di bursa karbon pada bulan September mendatang," kata Inarno dalam sambutannya pada Seminar Nasional OJK di Surabaya, Senin (31/7/2023).
Menurutnya, Indonesia memiliki peluang yang sangat besar dalam perdagangan karbon, salah satunya adalah pada subsektor pembangkit tenaga listrik. Sejauh ini, Indonesia mempunyai 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, setara 86% total PLTU Batu Bara yang beroperasi di Indonesia.
Pemerintah menargetkan, PLTU yang ikut dalam perdagangan karbon tahun ini mencakup PLTU di atas 100 Megawatt. Selanjutnya akan bertambah deiring waktu, yaitu PLTU di atas 50 Megawatt pada 2024 seluruh PLTU dan PLTG di 2025.
Selain dari subsektor pembangkit, perdagangan karbon di Indonesia juga akan diramaikan oleh sektor lain yang akan bertransaksi di bursa karbon seperti sektor Kehutanan, Perkebunan, Migas, Industri Umum, dan lain sebagainya.
Untuk mendukung peluang itu, OJK juga akan terus memastikan perangkat infrastruktur tidak hanya fit tetapi juga lengkap mulai dari infrastruktur primer, sekunder dan pasar sehingga dapat menopang beroperasinya bursa karbon. OJK juga mengerahkan agar mekanisme pengawasannya selaras dengan target nasional yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai mengimplementasikan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) batu bara. Kegiatan ini merupakan aktivitas jual beli kredit karbon antara unit PLTU.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Dirjen Gatrik) Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu menjelaskan pada intinya unit pembangkit yang menghasilkan emisi melebihi batas diwajibkan membeli emisi dari unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas. Hal tersebut tertuang di dalam nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) yang telah diatur Kementerian ESDM.
Menurut Jisman nilai karbon yang diperdagangkan antar unit PLTU di dalam negeri harganya diperkirakan mulai dari US$ 2 hingga US$ 18 per ton. Sedangkan jika perdagangan karbon dilakukan dengan pihak internasional harganya berkisar mulai dari US$ 2 hingga US$ 99 per ton.
(fsd/fsd)