CNBC Insight

Hampir Mati, Momen Ini Ubah Hidup Salim & Jadi Super Tajir

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
13 July 2023 10:45
Liem Sioe Liong atau dikenal dengan nama Indonesia Sudono Salim, adalah seorang pengusaha Indonesia. (Dok. Istimewa)
Foto: Liem Sioe Liong atau dikenal dengan nama Indonesia Sudono Salim, adalah seorang pengusaha Indonesia. (Dok. Istimewa)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam dunia psikologis dan medis, pengalaman dekat dengan kematian dipercaya kerap kali mengubah hidup seseorang. Saat orang tidak jadi meninggal, mereka berpikir ini adalah mukjizat atau keberuntungan. Artinya, Sang Pencipta masih memberi kesempatan hidup yang kedua.

Maka, setelah mengalami ini mereka biasanya akan mengalami transformasi hidup. Tujuannya agar bisa menjalani kehidupan kedua lebih hati-hati dan lebih baik. Dan salah satu yang mengalami pengalaman ini adalah pengusaha Sudono Salim, seperti diungkap dalam Liem Sioe Liong's dan Salim Group (2016).

Kecelakaan 

Cerita bermula di September 1949. Kala itu Salim yang masih jadi pengusaha kecil di Kudus hendak pergi ke Semarang untuk tujuan bisnis. Agar bisa ke sana, Salim tentu tidak mungkin mengayuh sepeda dari Kudus-Semarang dengan jarak 70 km.

Kebetulan, di waktu bersamaan ada temannya yang juga ingin pergi ke Semarang. Alhasil, Salim dan temannya itu memilih patungan menyewa mobil dan seorang supir. Jadilah, mereka pergi menggunakan mobil berkapasitas 5 orang.

Tidak ada keanehan apapun sesaat sebelum berangkat. Salim awalnya duduk di depan, samping supir. Namun, sebelum mobil melaju temannya itu ingin berpindah tempat duduk di depan. Salim manut. Dia kemudian berpindah ke belakang, duduk di samping kaca.

Setelahnya, supir langsung tancap gas menuju Semarang. Beberapa menit kemudian, Salim kembali dipinta untuk bergeser tempat duduk. Kini, permintaan datang dari temannya yang duduk di tengah. Dia merasa kegerahan dan butuh angin. Dia ingin pindah ke tempat duduk Salim supaya bisa menikmati angin. Namun, berbeda dengan respons awal, Salim kali ini langsung menggerutu.

"Saya sedikit jengkel, tetapi akhirnya mengalah dan pindah ke kursi tengah," katanya dalam wawancara dengan Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong's dan Salim Group (2016).

Salim yang sudah dua kali pindah tempat duduk terpaksa harus kegerahan. Namun, siapa sangka kegerahan ini justru menjadi berkah dalam hidupnya. 

Sekitar 20 menit sebelum sampai Semarang, mobil yang melaju kencang tiba-tiba menabrak truk militer Belanda. Truk seberat 10 ton itu langsung menghajar kap depan mobil hingga remuk ke belakang. Mobil seketika terguling dan hancur lebur.

Dari kejadian itu, tercatat 3 penumpang tewas. Antara lain sopir, teman yang duduk di depan dan samping kaca kanan. Sementara, satu orang luka berat, yakni teman Salim yang duduk di kaca kiri. Dari semua itu, hanya Salim yang cukup beruntung.

Meski tak sadarkan diri, dia hanya mengalami luka ringan. Kepalanya lecet. Perubahan hanya terjadi di kakinya. Kata dokter di RS Elizabeth Semarang yang merawatnya, kaki sebelah kiri lebih pendek 1 cm dibanding kaki kanan. Tapi, itu bukan menjadi soal. Kenyataannya, 'kecacatan' itu masih bagus ketimbang kehilangan nyawa.

Sebab, setelahnya Salim tetap hidup meski dirawat berbulan-bulan di rumah sakit. Semua ini tentu terjadi karena Salim pindah tempat duduk, sehingga secara perhitungan lebih aman dari kecelakaan. Bisa dibayangkan, jika Salim ngotot mempertahankan kursi samping supir dan kaca, tentu dia akan tinggal nama. Tidak ada kerajaan bisnis bernama Salim Group.

Meski dikaruniai hidup kedua, kejadian ini tetap menjadi masa kelam dan menyedihkan Salim. Sebab, setelah tertimpa kecelakaan, dia terpaksa kehilangan salah satu momen terbaik. Yakni, tidak bisa melihat kelahiran anak ketiganya. Sang Istri, Liliana, terpaksa harus melahirkan seorang diri tanpa ditemani dirinya.

Selama menunggu di rumah sakit, Salim was-was takut istri dan anaknya tidak selamat. Beruntung, ketakutan itu tidak terwujud. Anak ketiganya bisa lahir dengan selamat pada 25 Oktober 1949. Dan untuk merayakan keberkahan itu, dia menamai anak ketiganya sebagai Fung Seng yang berarti "hidup yang baru."

Kepada Richard Borsuk, Salim berkisah bahwa penamaan ini adalah bentuk syukur dan keberanian. Bentuk syukur karena Salim masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan dan masih dikaruniai anak. Lalu bentuk keberanian karena nama anaknya itu melanggar kepercayaan Tionghoa karena tidak menggunakan marga keluarga, yakni Liem. 

Meski begitu, kelak Fung Seng benar-benar menjadi hidup baru bagi Salim.

Fung Seng yang kemudian dikenal sebagai Anthony Salim benar-benar mewujudkan harapan ayahnya itu. Masih mengutip buku Liem Sioe Liong's dan Salim Group (2016), Salim mengungkap kalau Anthony adalah sosok yang mampu menemaninya berbisnis. Dia sangat pintar ketimbang saudaranya yang lain. Dia bisa menghitung langkah bisnis secara cermat dan presisi, sehingga sukses membawa Salim Group ke arah lebih baik. 

Bahkan, ketika Salim Group terancam bangkrut di tahun 1998, Anthony benar-benar bisa mewujudkan harapan dalam namanya, yakni hidup baru bagi Salim Group. Pasalnya, setelah tahun 1998, Anthony sukses membawa Salim Group kembali menjadi salah satu konglomerasi bisnis terbesar di Indonesia


(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Emiten Metaverse Salim Ambruk 90%, Komisaris Kok Malah Serok?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular