Bursa Global 'Kebakaran', IHSG Melaju Kencang Sepekan

trp, CNBC Indonesia
09 July 2023 10:00
Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghijau selama pekan ini, di tengah lesunya bursa saham global karena terbebani oleh panasnya kembali tensi geopolitik AS-China dan masihhawkish-nya bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed).

Selama sepekan, indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut menguat 0,82% ke 6.716,46, lebih baik dari posisi pekan sebelumnya yang menguat 0,33%. Dengan ini, maka IHSG sudah menguat dalam dua pekan beruntun.

Selama sepekan, nilai transaksi IHSG mencapai Rp 37 triliun. Investor asing pun tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) mencapai Rp 593,83 miliar di seluruh pasar dan Rp574 miliar di pasar reguler sepanjang pekan ini.

Dari dalam negeri, rilis data inflasi periode Juni 2023 menjadi sentimen utama.

Pada Senin (3/7), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi RI pada Juni 2023 sebesar 0,14% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 3,52% secara tahunan (year-on-year/yoy)

"Inflasi terjadi sebesar 0,14%,"kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Senin (3/7).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 institusi memperkirakan inflasi Juni 2023 akan menembus 0,25%, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 0,09%.

Hasil polling juga memperkirakan inflasi tahunan akan menembus 3,62% pada bulan ini. Inflasi inti (yoy) diperkirakan mencapai 2,64%.

Sebagai catatan, inflasi Mei tercatat 0,09% (mtm) dan 3,0% (yoy). Inflasi inti tercatat sebesar 2,66%.

Hal ini menjadi potensi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunganya lebih awal, menurut beberapa ekonom. Inflasi di Asia Tenggara berangsur-angsur mereda sejak mencapai puncaknya September lalu sebesar 6%.

Kemudian, kisruh aksi saling balas pengetatan ekspor dan transfer teknologi yang berkaitan dengan industri semikonduktor antara China dan AS yang memanas turut mewarnai perdagangan minggu ini.

Melansir Wall Street Journal (WSJ), Senin (4/7), China menerapkan pembatasan ekspor pada dua mineral yang menurut AS sangat penting untuk produksi semikonduktor, sistem rudal, dan sel surya. Ini bisa jadi bentuk pamer 'otot' ala China menjelang pembicaraan ekonomi antara dua negara tersebut.

Sejurus dengan itu, pemerintahan Biden sedang bersiap untuk membatasi akses perusahaan China ke layanan komputasi awan AS, demikian menurut sumber anonim kepada WSJ, Senin (4/7).

Di tengah tegangnya tensi antara kedua negara raksa tersebut, Menteri Keuangan AS Janet Yellen tiba di Beijing, China, pada Kamis sore waktu setempat (6/7), dengan tujuan menemukan pijakan ekonomi bersama dan membuka saluran komunikasi bilateral di tengah hubungan yang semakin bergejolak antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.

Selain itu, bursa global kebakaran setelah keluarnya data tenaga kerja Amerika Serikat (AS). Pada Jumat, tiga indeks utama Wall Street memerah. Dow Jones Index turun 0,55%, melanjutkan pelemahan dua hari sebelumnya.

S&P 500 Index melemah 0,29% dan Nasdaq terdepresiasi 0,13%. Dalam sepekan, Dow Jones merosot 1,99%, S&P 500 ambles 1,27%, dan Nasdaq minus 1,13%.

Dari Asia, Nikkei 225 turun tajam 2,41% sepekan, Hang Seng tersungkur 4,87%, dan Shanghai Composite Index terjungkal 1,46%. Dari Eropa, FTSE 100 London (Inggris) anjlok 3,59% sepekan dan DAX Frankfurt (Jerman) turun 2,97% dalam periode yang sama.

Data pekerjaan yang kuat membuat investor khawatir jika bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan kembali mengetatkan kebijakan moneter ke depan.

Angka pekerjaan sektor swasta meningkat sebesar 497.000 pada Juni, menurut data dari perusahaan penggajian ADP. Angka ini menjadi kenaikan bulanan tertinggi sejak Juli 2022.

Sedangkan pada Jumat, data tenaga kerja non-pertanian (non-farm payroll/NFP) dan data tingkat pengangguran dirilis.

Untuk tenaga kerja NFP, angkanya turun menjadi 209.000 pada Juni 2023, dari sebelumnya sebesar 306.000 pada Mei lalu. Angka itu juga lebih rendah dari prediksi pasar sebesar 250.000.

Sedangkan untuk tingkat pengangguran AS pada Juni 2023 juga mengalami penurunan, tetapi penurunannya cenderung tipis yakni menjadi 3,6%, dari sebelumnya pada Mei lalu sebesar 3,7%. Angka ini lebih rendah dari prediksi pasar yang memperkirakan tumbuh 3,7%.

Di sisi lain, tingkat pendapatan rata-rata per jam naik 0,4% bulan lalu setelah naik dengan selisih yang sama pada Mei Tercatat, dalam 12 bulan hingga Juni, upah naik 4,4%, menyamai kenaikan Mei.

Meskipun pertumbuhan lapangan kerja melambat, pasar tenaga kerja masih belum tertekan. Dengan masih panasnya tenaga kerja AS maka bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) diproyeksi akan kembalihawkish.

Investor memperkirakan sekitar 92% kemungkinan kenaikan pada pertemuan bank sentral akhir bulan ini, menurut alat FedWatch CME Group.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dua Hari di Zona Merah, IHSG Kembali Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular