Rupiah Hajar Kedigjayaan Dolar di Hari Kemerdekaan AS

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
04 July 2023 16:08
Petugas menghitung uang  dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022)
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS), sehingga kembali terbebas dari level psikologis Rp 15.000/US$. Penguatan rupiah seiring dengan pelemahan indeks dolar AS (DXY) yang disinyalir akibat menjelang libur hari Kemerdekaan Negeri Paman Sam.

Merujuk data Refinitiv, rupiah di pasar spot ada di posisi Rp 14.990/US$. Rupiah menguat 0,2%. Mata uang garuda telah menguat 4% dibanding dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang 2023.

Rupiah mampu membalikkan arah dari pembukaan pasar yang awalnya berada di zona merah dan mampu ditutup menguat. Perdagangan kemarin, Senin (3/7/2023), rupiah ditutup melemah 0,2% ke posisi Rp 15.020/US$.

Pelemahan ini disinyalir akibat libur pasar AS berpotensi sehingga menyebabkan dana keluar, khususnya di pasar keuangan. Pelaku pasar cenderung memiliki sikap mengamankan asetnya dalam bentuk kas untuk mencegah tertahan selama pasar libur.

Selain itu, Eko Listiyanto, Wakil Direktur INDEF, memandang dinamika rupiah disebabkan oleh tantangan global sepanjang 2023 ini. Beliau menambahkan pergerakan rupiah akan cukup stabil berada di kisaran Rp 15.000/US$.

Eko mengatakan, "Dari sisi nilai tukar fluktuasinya, tidak seganas tahun lalu sampai akhir tahun." Secara jangka panjang, beliau merasa mata uang rupiah akan cukup stabil yang didukung oleh penurunan inflasi yang konsisten.

Inflasi utama Juni lebih rendah 3,52% secara tahunan (year on year/yoy). Nilai ini menjadi level inflasi terendah dalam 14 bulan. Melansir ReutersPoll, inflasi Indonesia diperkirakan berada di 3,64%, artinya Inflasi Indonesia dapat lebih terkendali dibanding perkiraan.

Selain itu, inflasi inti Indonesia tercatat 2,58% atau lebih rendah dibanding perkiraan jajak pendapat sebesar 2,64%.

Hal ini menjadi potensi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunganya lebih awal, menurut beberapa ekonom. Inflasi di Asia Tenggara berangsur-angsur mereda sejak mencapai puncaknya September lalu sebesar 6%.

Selain itu, pelemahan dolar juga disebabkan oleh manufaktur AS yang merosot pada bulan Juni. Melansir Reuters, Institute for Supply Management (ISM) mengatakan PMI manufakturnya turun menjadi 46,0 dari bulan Mei 46,9, atau terendah sejak Mei 2020.

Pelemahan ISM dapat menggambarkan adanya indikasi perekonomian AS menghadapi resesi. Hal ini akan bisa menjadi tanda bahwa inflasi mulai terkendali, sehingga aka nada potensi AS menurunkan suku bunganya.

Namun, data lain menunjukkan bahwa non-farm payroll atau gaji non pertanian menunjukkan adanya peningkatan. Data ini dapat menjadi acuan pertumbuhan ekonomi AS yang akan berdampak pada inflasi. Data ini cukup mengkhawatirkan pelaku pasar akan potensi The Fed kembali mengerek suku bunganya.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


(mza/mza)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Alert! Rupiah Kembali Tembus Level Psikologis Rp15.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular