Pasar Ribuan Triliun, RI Pede Bursa Karbon Jalan September
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan mengungkapkan optimismenya bahwa bursa karbon akan tetap dapat mulai berjalan bulan September ini meski saat ini kerangka aturannya masih mau dibahas terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dewan Komisioner OJK Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Inarno Djajadi menyebut Pertauran OJK (POJK) terkait bursa karbon dapat terbit bulan ini. Sebelumnya, regulator telah menjanjikan POJK dapat terbit bulan Juni, namun terhambat permasalahan yang sama yakni POJK tersebut belum didiskusikan dengan Komisi XI DPR-RI.
"Terkait DPR komisi XI belum bahas soal POJK [bursa karbon], kita harus positif melihatnya karena komisi XI pun perlu menelaah," ungkap Inarno.
Inarno juga belum memastikan secara pasti kapan aturan ini akan didiskusikan dengan DPR, namun meyakinkan bahwa aturan yang ditunggu banyak pihak tersebut dapat terbit bulan ini. Selain itu dirinya juga optimis semuanya masih berjalan sesuai target dengan bursa karbon dapat diluncurkan pada bulan September mendatang.
Secara spesifik, bursa karbon diatur berdasarkan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dimana dalam aturan itu peran OJK juga akan mengawasi implementasi bursa karbon.
Aturan terkait bursa karbon ditunggu oleh banyak pihak, karena dapat merubah lanskap bisnis dan kenaikan atau penurunan profitabilitas perusahaan. Aturan ini juga dapat menjadi insentif bagi sektor tertentu atau disinsentif bagi yang lain.
Meski demikian potensi ekonomi raksasa diperkirakan dapat diraup jika aturan bursa karbon dapat dijalankan.
Nilai Pasar Karbon
Secara global nilai pasar karbon tahun lalu mencapai US$ 909 miliar atau setara Rp 13.635 triliun, menurut estimasi Refinitiv. Sekitar 12,5 miliar ton izin karbon berpindah tangan - 20% lebih rendah dari tahun sebelumnya - tetapi nilai pasar naik 14% karena harga yang naik signifikan.
Perdagangan karbon adalah mekanisme pasar yang dimaksudkan untuk membatasi emisi gas rumah kaca. Bursa karbon akan membatasi jumlah emisi yang dapat dihasilkan oleh perusahaan, dan jika melebihi batas tersebut dapat membeli izin dari pihak lain.
Pasar karbon terbesar dunia, Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), yang diluncurkan pada 2005, tahun lalu bernilai sekitar 751 miliar euro (Rp 12.057 triliun), naik 10% dari tahun sebelumnya dan mewakili 87% dari total pasar karbon global.
Tahun lalu, secara rerata harga izin karbon di EU ETS diperdagangkan lebih dari 80 euro per ton, 50% lebih tinggi dari tahun sebelumnya karena harga energi melonjak setelah perang di Ukraina.
Artinya, ketika perusahaan telah melewati batas emisi yang diizinkan (cap), mereka harus membeli izin dari perusahaan yang memiliki kredit karbon dengan harga yang ditentukan lewat mekanisme pasar di bursa karbon.
Hal ini dilakukan agar berbagai perusahaan termasuk perusahaan listrik dan maskapai penerbangan dapat memperkecil emisi dan Uni Eropa dapat memenuhi target iklimnya. Pada bulan Februari, harga izin di pasar karbon Uni Eropa mencapai 100 euro per ton untuk pertama kalinya.
Tahun lalu, anggota parlemen UE juga memperketat kebijakan iklim dan setuju untuk memotong jumlah izin dalam sistem, yang pada akhirnya menaikkan harga karbon.
Sementara itu untuk perdagangan karbon dalam negeri, sejumlah pihak menyebut estimasi nilai pasarnya bisa mencapai ratusan miliar dolar.
Estimasi Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia menyebut potensi perdagangan karbon di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.500 per tahun. Adapun Indonesia saat ini memiliki kurang lebih 125 juta hektare yang diprediksi dapat menyerap 25 miliar ton karbon.
(fsd/fsd)