
Jelang Idul Adha, Transaksi Saham RI Jeblok 50%! Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham dalam negeri terpantau sepi dalam beberapa hari terakhir, terlihat dari nilai transaksi harian yang tidak mencapai target rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) yang ditetapkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Bahkan jelang libur cuti bersama Idul Adha nilai transaksi harian saham RI jeblok hingga 50%.
Hingga akhir perdagangan sesi I Selasa (27/6/2023), nilai transaksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya mencapai Rp 3,88 triliun. Bahkan pada perdagangan Senin kemarin saja, nilai transaksi IHSG hanya mencapai Rp 7,48 triliun.
Hal ini tentunya lebih rendah dari RNTH yang ditetapkan oleh BEI yakni sebesar Rp 14,75 triliun per hari. RNTH ini ditentukan berdasarkan rata-rata nilai transaksi saham harian di BEI pada 2022 lalu.
Sepinya transaksi terpantau sudah terjadi sejak pekan lalu, di mana nilai transaksi harian tidak pernah menyentuh Rp 10 triliun ataupun lebih. Rata-ratanya mencapai Rp 7 triliun hingga Rp 9 triliun.
Normalnya, transaksi IHSG dikatakan ramai jika nilai transaksi hariannya sudah mencapai belasan triliun. Bahkan jika pasar dalam kondisi benar-benar ramai, nilai transaksi bisa menyentuh puluhan triliun.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa sepinya transaksi karena terkait dengan libur panjang dalam rangka cuti bersama Idul Adha 1444 H. Namun, ada alasan lain yang menyebabkan transaksi IHSG sepi.
Faktor pertama yakni ketidakpastian kondisi global yang masih tinggi dan membuat volatilitas pasar saham global cenderung meninggi. Selain itu, potensi resesi juga turut mempengaruhi pergerakan pasar saham global.
Ketika volatilitas pasar saham global cukup tinggi, maka hal ini juga berpengaruh ke pasar saham RI dan pada akhirnya membuat volatilitas IHSG juga meninggi. Alhasil, investor cenderung ragu untuk berinvestasi di aset saham.
Perang Rusia-Ukraina yang belum usai dan beberapa masalah geopolitik lainnya di global juga turut mempengaruhi psikologis pasar dan pada akhirnya menurunkan kembali selera risiko pelaku pasar.
Sedangkan faktor kedua yakni ketidakpastian sikap bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) dan masih hawkish-nya beberapa bank sentral utama lainnya.
Saat ini, investor masih sulit untuk memprediksi kapan The Fed merubah sikapnya menjadi sedikit lebih dovish, meski pada tahun lalu The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya.
Tetapi, ditahannya suku bunga The Fed hanya bersifat sementara dan akhirnya pasar masih memprediksi bahwa The Fed masih akan 'galak' setidaknya hingga akhir tahun ini.
Inflasi yang masih jauh dari target The Fed, meski sudah mengalami penurunan, dan masih ketatnya data tenaga kerja membuat The Fed belum akan berpaling dari kebijakan ketatnya dalam waktu dekat.
Hal ini tetap dilakukan meski beberapa bulan sebelumnya penyebab ketatnya The Fed membuat bank-bank regional di AS bertumbangan, dan lagi-lagi membuat volatilitas pasar saham global meninggi.
Selain The Fed, bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) dan bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga memiliki sikap yang sama dengan The Fed. ECB dan BoE juga masih mempertahankan kebijakan ketatnya hingga periode Mei.
Alasannya sama yakni inflasi yang masih cukup jauh dari target. Bedanya, inflasi di Eropa dan Inggris masih sangat tinggi yakni di kisaran 6% hingga 8%. Sedangkan inflasi AS sudah berada di kisaran 4%.
Dengan inflasi Eropa dan Inggris yang masih tinggi, maka ECB dan BoE memang belum akan merubah sikap agresifnya dalam waktu dekat.
Di sisi lain, sentimen rilis kinerja keuangan emiten tahun 2022 yang terbilang memuaskan serta sentimen pembagian dividen tidak berdampak banyak bagi pasar saham.
Hal ini karena moncernya kinerja keuangan emiten tahun lalu sudah diproyeksi dan sesuai dengan ekspektasi. Pun demikian, relaksasi perdagangan bursa belum akan berdampak banyak ke transaksi bursa.
Selain itu, investor sepertinya juga sudah mulai jenuh dengan saham-saham IPO 2023 yang secara kinerja belum memuaskan.
Padahal sejak awal tahun ini hingga hari ini saja, sudah ada 44 emiten yang resmi melantai di bursa. Tetapi, kinerja sahamnya yang sudah cukup memuaskan hanya dapat dihitung jari.
Bahkan, pasca diberlakukannya auto reject bawah (ARB) asimetris secara bertahap, belum dapat menggairahkan sebagian besar saham-saham IPO 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dua Hari di Zona Merah, IHSG Kembali Menguat