Review Sepekan

Sedih! Harga Minyak Dunia Ambles, 3 Negara Ini Biang Keroknya

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Minggu, 11/06/2023 13:15 WIB
Foto: Pexels

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah pada pekan ini kelabu. Sepanjang pekan ini, harga minyak kontrak jenis Brent ambles 1,76% secara point-to-point (ptp). Sedangkan untuk minyak kontrak jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) ambruk 2,19% pekan ini.

Pada perdagangan Jumat (9/6/2023) akhir pekan ini, harga minyak Brent ambles 1,54% ke US$ 74,79 per barel, sedangkan jenis WTI ambrol 1,57% ke posisi US$ 70,17 per barel.


Lesunya harga minyak mentah dunia pada pekan ini disebabkan oleh Amerika Serikat (AS) dan Iran, di mana ada isu bahwa AS akan memberikan keringanan sanksi kepada Iran untuk mengekspor minyak dengan imbalan Teheran mengurangi pengayaan uranium. Namun, AS dan Iran secara bersamaan membantah laporan bahwa mereka hampir mencapai kesepakatan nuklir.

Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih menyebut laporan itu "salah dan menyesatkan".

"Jika tidak ada kesepakatan Iran maka kami kembali ke tempat kami sebelumnya, lebih fokus pada permintaan bahan bakar," ucap John Kilduff, partner di Again Capital LLC di New York.

Foto: Gejolak AS-Iran Bawa Harga Minyak Melesat (CNBC Indonesia TV)
Gejolak AS-Iran Bawa Harga Minyak Melesat (CNBC Indonesia TV)

Harga minyak lebih rendah sebelumnya setelah AS melaporkan kenaikan persediaan bensin yang lebih besar dari perkiraan pada Rabu pekan ini. Hal itu menimbulkan kekhawatiran tentang permintaan bahan bakar AS, dengan puncak musim berkendara musim panas yang sedang berlangsung.

Kekhawatiran permintaan melebihi prospek pasokan yang lebih ketat setelah Arab Saudi berjanji pada pertemuan OPEC+ akhir pekan untuk memangkas produksi minyak mentah sebesar 1 juta barel per hari pada Juli.

Pemotongan sepihak itu merupakan tambahan dari kesepakatan grup yang lebih luas untuk memperpanjang pembatasan pasokan yang ada hingga 2024.

"Harga minyak bisa terangkat jika The Fed melewatkan kenaikan suku bunga pada pertemuan berikutnya pada 13-14 Juni," ucap Tamas Varga dari broker PVM.

Namun, kenaikan stok bahan bakar AS dan data ekspor China yang lemah telah membebani pasar. Berdasarkan dana bea dan cukai China yang dirilis Rabu lalu, ekspor Negeri tirai bambu turun 7,5% secara tahunan sepanjang Mei.

Senada dengan ekspor, realisasi impor juga turun 4,5% secara tahunan. Hasil tersebut membuahkan tanda tanya besar terkait pemulihan ekonomi negara tersebut yang belum lama ini mencabut kontrol ketat terkait Covid-19.

Pasalnya, lemahnya kinerja perdagangan juga menggambarkan permintaan global yang melemah di tengah tekanan suku bunga yang masih tinggi.

Ekspor turun menjadi US$ 283,5 miliar, berbalik dari pertumbuhan kuat 8,5% yang tak terduga pada April. Impor turun menjadi US$ 217,7 miliar, cenderung moderat dari kontraksi 7,9% pada bulan sebelumnya.

Sementara itu, surplus perdagangan global China menyempit sebesar 16,1% menjadi US$ 65,8 miliar pada Mei. Pelemahan perdagangan menambah tekanan ke bawah pada ekonomi terbesar kedua di dunia itu menyusul aktivitas pabrik dan konsumen yang lesu serta lonjakan pengangguran di kalangan kaum muda.

Meski begitu, pasar memprediksi harga minyak bisa terangkat jika bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dapat merubah sikapnya pada pertemuan berikutnya.

Tetapi, jeda yang kemungkinan bakal di ambil The Fed belum tentu mengakhiri kampanye kenaikan suku bunganya. Terlebih, keputusan Bank of Canada untuk melanjutkan menaikkan suku bunga setelah jeda awal pekan ini dapat "menambah warna pada keputusan Th Fed."

Berdasarkan CME FedWatch Tool, pasar menilai peluang sekitar 70,1% bahwa The Fed mempertahankan suku bunga stabil pada pertemuan berikutnya.

CNBC INDONESIA RESEARCH


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Iran-Israel Bikin Harga Komoditas Naik, RI Diuntungkan?