
Toko Buku Gunung Agung Bermula dari Rokok Curian Bocah Bandel

Jakarta, CNBC Indonesia - Toko Buku Gunung Agung tengah menjadi sorotan publik. PT GA Tiga Belas yang menaunginya dikabarkan telah melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak kepada 350 karyawannya. Selain itu, dikabarkan juga pihak manajemen akan melakukan efisiensi dengan menutup toko yang tersisa.
Gunung Agung bukanlah toko buku kemarin sore. Toko ini sudah ada sejak tahun 1953 dan menjadi perintis toko buku modern di Indonesia.
Berdirinya Gunung Agung tidak terlepas dari orang bernama Tjio Wie Tay. Pria kelahiran Batavia, 8 September 1927 adalah anak dari Tjio Koan An, seorang teknisi listrik yang kerja di perusahaan gas Belanda. Karenanya hidup Tjio dan keluarga pun cukup mapan.
Namun, kehidupan mapan itu berubah saat bapaknya meninggal di tahun 1931, atau ketika Tjio berusia empat tahun.
Leo Suryadinata dalam Southeast Asian Personalities of Chinese Descent (2012) menceritakan sejak ditinggalkan kepala keluarga, sang Ibu Poppy Nio, mulai bekerja untuk menghidupi Tjio dan tiga saudaranya. Dia kerja keras untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya, termasuk Tjio agar bisa masuk ke sekolah Belanda yang mahal.
Upaya ini pun membuahkan hasil. Tjio tercatat dapat menempuh pendidikan di Hollandsch-Chineesche School (HCS) Bogor. Kota ini dipilih karena di sana ada pamannya, sehingga bisa memantau kelakuan Tjio sehari-hari.
Namun, ekspetasi ibunya agar Tjio tumbuh menjadi anak yang pintar dan bersikap baik malah tidak terjadi.
Setelah masuk sekolah, Tjio malah bandel, sering bolos dan berkelahi. Erwin Y. Salim di Majalah Gatra (25 Oktober 2006) menyebut karena ulahnya itu dia sampai dua kali dikeluarkan dari sekolah. Hingga akhirnya dia benar-benar putus sekolah saat kelas 5 SD atau sekitar tahun 1940.
Setelah itu, dia dikembalikan kepada ibunya ke Jakarta. Dia pun tidak mau lagi bersekolah dan ingin berjualan membantu ibunya.
Ketut Masagung dalam Bapak Saya Pejuang Buku (2003) menyebut bisnis pertama Tjio adalah rokok ketengan. Dia menjual rokok-rokok tersebut secara asongan di kawasan Senen dan Glodok. Menariknya, modal usaha rokok itu didapat berkat mencuri buku pelajaran kakaknya. Jadi, tanpa sepengetahuan keluarga, Tjio kerap mencuri dan menjual buku ke tukang loak untuk mendapat uang modal usaha.
Seiring waktu, usaha rokok ini kemudian moncer. Dan saat berjualan rokok, dia berkenalan dengan pedagang rokok bernama Lie Thay San dan The Kia Hoat. Perkenalan inilah yang membuka pintu bagi Tjio untuk serius berbisnis.
Di usia yang belum genap 20 tahun, Tjio bekerjasama dengan dua temannya itu untuk bikin perusahaan dagang. Sama seperti usaha pertama, modal pertama perusahaan ini juga didapat dari tindakan tidak terpuji.
"Mereka mencuri rokok dari gudang perusahaan Perola. Dari sini mereka memperoleh modal mendirikan Thay San Kongsi secara sah pada 1948," tulis Sem Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008).
Perusahaan yang berdiri di Jl. Kramat ini awalnya ingin jualan rokok dan bir. Namun, tingginya peminat buku di Indonesia membuat Tjio sebagai pimpinan perusahaan mengalihkan usahanya ke jual-beli buku.
Gatra menulis perusahaan itu awalnya fokus menjual buku-buku berbahasa asing yang didapat dari orang Belanda kenalan Tjio. Karena pasar buku di Indonesia sedikit, maka dalam sekejap Thay San Kongsi laris-manis. Hidup Tjio pun mulai mapan.
Lima tahun setelah pendirian, Tjio berinisiatif mengubah perusahaannya menjadi lebih besar berbentuk firma. Sayang, untuk hal ini Lie Thay San dan The Kia Hoat tidak sepakat. Mereka akhirnya pecah kongsi dan jalan sendiri-sendiri.
Pada 8 September 1953, Thay San Kongsi kemudian diubah namanya oleh Tjio menjadi NV Gunung Agung. Saat pembukaan toko yang terletak di Kramat 13 ini, Gunung Agung berhasil memajang sekitar 10.000 buku bermodalkan Rp. 500.000.
Saat itu, tak banyak toko buku yang mampu menjual belasan ribu buku. Oleh karena itu, Gunung Agung seketika menjadi sentra jual-beli buku di Jakarta. Banyak wartawan dan penulis ingin menjual bukunya di sana.
Tak berhenti sampai di sini, Tjio punya strategi menarik untuk membesarkan Gunung Agung. Caranya lewat pameran buku.
Pada 1954, Gunung Agung mengadakan pameran buku pertamanya. Orang-orang banyak yang datang, begitu pula Sukarno dan Hatta, yang juga penggila buku dan berkenalan dengan Tjio.
Seiring waktu, pameran demi pameran pun berlangsung di banyak kota dalam dan luar negeri. Begitu juga toko Gunung Agung yang melahirkan banyak cabang di Tanah Air.
Besarnya nama Gunung Agung membuat Sukarno mempercayai Tjio untuk memimpin penerbitan dan distribusi buku-buku karyanya. Sejak 1960, Gunung Agung pun menjadi penerbit dan distributor utama buku Bung Karno.
Dari sinilah masa keemasan Gunung Agung pun dimulai. Dalam Apa dan Siapa? (2004), memasuki tahun 1970-an Gunung Agung tak lagi sebatas menerbitkan dan menjual buku, tetapi juga mulai bermain di sektor pariwisata, perhotelan, dan penukaran uang
Besarnya bisnis ini kemudian membuat pria yang kemudian berganti nama jadi Masagung ini membentuk Gunung Agung Group. Sam Setyautama merinci kerajaan bisnis Masagung terdiri dari PT Gunung Agung (toko buku dan penerbitan), PT Sari Agung (toko buku dan alat tulis), PT Inti Idayu Press (Percetakan), PT Ayumas Gunung Agung (valuta asing), PT Windu Surya, dan PT Inter Delta (Distributor Kodak).
"Ia enggan menyebutkan jumlah kekayaannya. Tetapi, jumlah pajak yang harus dibayarnya secara grup mencapai Rp 200 juta. Untuk bea cukai sebesar Rp 2 milyar. Belum termasuk pajak pendapatan dari 2.000 lebih karyawannya," tulis penulis buku Apa dan Siapa? (2004), saat menanyakan kekayaan Masagung.
Kebesaran ini membuat Gunung Agung berani melantai di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1991, setahun setelah Masagung wafat pada 24 September 1990.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]