Mau Jatuhkan Dolar AS? Ternyata Tak Segampang Itu Ferguso!
Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena dedolarisasi melanda dunia. Hal ini dipicu oleh dinamika global, termasuk perang dagang dan perang Rusia versus Ukraina. Negara-negara seperti China dan Brasil pun perlahan tapi pasti memilih menggunakan mata uang lokalnya, ketimbang dolar.
Bahkan, India, Arab Saudi dan sejumlah negara ASEAN pun berlomba untuk menyelesaikan transaksi perdagangan dengan mata uang lokal masing-masing.
Alhasil, penggunaan mata uang dolar di global semakin berkurang. Data Komposisi Mata Uang Cadangan Devisa (COFER) IMF menunjukkan dolar AS menyumbang 58,36% dari cadangan devisa global pada kuartal keempat tahun lalu.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgievas mengungkapkan bahwa dolar AS secara bertahap telah kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan utama dunia.
"Dalam sebuah konferensi di AS, Senin waktu setempat, ia berujar perubahan telah terjadi. "Ada pergeseran bertahap dari dolar, dulunya 70% dari cadangan, sekarang sedikit di bawah 60%," tegasnya di acara Global Milken Institute 2023 dikutip Senin (8/5/2023).
Meski belum bisa tergantikan dalam waktu dekat, tambahnya, pesaing AS terbesar sudah bermunculan. Ini antara euro, dengan potensi paling massif.
Ada pula pound Inggris, yen Jepang dan yuan China. "Mereka memainkan peran yang sangat sederhana," katanya.
Namun, investor ternama Amerika Serikat (AS) Warren Buffett kini buka suara soal dedolarisasi. Menurutnya dolar AS tidak berisiko kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dunia.
"Kita (dolar AS) adalah mata uang cadangan," kata investor terkenal dan CEO Berkshire Hathaway selama pertemuan tahunan perusahaannya, akhir pekan waktu AS.
"Saya tidak melihat opsi untuk mata uang lain untuk menjadi mata uang cadangan," ujarnya lagi dikutip dari Business Insider, Senin (15/5/2023).
Namun, Warren berpesan agar AS berhati-hati terkait pengeluaran agresif pemerintah.
Dia mengingatkan agar pemerintah AS agar tidak mengikis nilai dolar dengan membelanjakan terlalu banyak dan memicu inflasi. Itu, tegasnya, menimbulkan konsekuensi yang menghancurkan.
"Kita harus sangat berhati-hati," kata Buffett.
Meski banyak negara melakukan dedolarisasi, tetapi status dolar AS sebagai raja mata uang sepertinya tidak akan lengser dalam jangka pendek atau menengah. Sebab, perekonomian dunia bisa jeblok jika itu terjadi.
Ekonom Robert Triffin yang memberikan testimoni di hadapan Kongres AS pada 1960 memaparkan masalah fundamental pada sistem moneter internasional yang terkenal dengan istilah Triffin Dilemma.
Menurut Triffin, pertumbuhan ekonomi global saat ini membutuhkan supply dolar AS. Untuk terus menambah supply, maka Amerika Serikat wajib mengalami defisit neraca pembayaran internasional.
Ketika mengalami defisit, artinya Amerika Serikat harus terus "mencetak" dolar AS untuk pembayaran, supply pun bertambah. Sebaliknya, ketika Amerika Serikat mengalami surplus, maka negara-negara lain harus membayar, dengan kata lain dolar kembali pemiliknya.
Supply dolar AS secara global pun akan menurun, kekurangan likuditas nantinya menurut Triffin akan memicu kemerosotan ekonomi global. Hal ini lah yang disebut Triffin Dilemma.
(haa/haa)