
IHSG Masih Loyo, 6 Saham Big Cap Ini Jadi Pemberatnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terkoreksi pada perdagangan sesi I Jumat (12/5/2023), di mana pasar mencermati sentimen dari plafon utang Amerika Serikat (AS).
Per pukul 10:55 WIB, IHSG melemah 0,36% ke posisi 6.731,33. IHSG masih bertahan di zona psikologis 6.700 pada sesi I hari ini.
Secara sektoral, sektor bahan baku menjadi pemberat terbesar indeks pada sesi I hari ini, yakni mencapai 1,23%. Kemudian disusul sektor teknologi sebesar 1,19%.
Beberapa saham menjadi pemberat IHSG pada hari ini. Berikut saham-saham yang menjadi pemberat IHSG pada sesi I hari ini.
Emiten | Kode Saham | Indeks Poin | Harga Terakhir | Perubahan Harga |
Telkom Indonesia | TLKM | -13,18 | 3.980 | -2,69% |
Bank Mandiri | BMRI | -4,64 | 5.025 | -1,47% |
Kalbe Farma | KLBF | -2,37 | 2.100 | -1,41% |
Astra International | ASII | -2,35 | 6.225 | -0,40% |
Bank Negara Indonesia | BBNI | -1,87 | 9.050 | -1,09% |
Merdeka Copper Gold | MDKA | -1,73 | 3.250 | -2,69% |
Sumber: Refinitiv & RTI
Saham emiten telekomunikasi BUMN yakni PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) menjadi pemberat terbesar indeks pada hari ini, yakni sebesar 13,2 indeks poin.
Tak hanya itu, dua saham bank raksasa juga membebani IHSG pada hari ini, yakni saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar 4,6 indeks poin dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) sebesar 1,9 indeks poin.
Terakhir ada saham pertambangan emas yakni PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang juga menjadi pemberat IHSG pada sesi I hari ini, yakni sebesar 1,7 indeks poin.
Sentimen dari pengumuman rebalancing MSCI Global Standard Indexes yang seharusnya menjadi potensi penggerak IHSG pada hari ini, nyatanya tidak membuat IHSG bergairah.
Sementara dari global, terutama dari Amerika Serikat (AS), pelaku pasar masih mencermati pembahasan tentang plafon utang.
Jika Kongres tidak mencapai keputusan untuk menyelesaikan masalah tersebut sebelum 1 Juni mendatang, maka potensi gagal bayar (default) dan kehabisan likuiditas masih membayangi pemerintah AS.
Di lain sisi, data inflasi China periode April 2023 juga masih menjadi perhatian, setelah inflasi China tersebut kembali turun ke 0,1% (year-on-year/yoy).
Hal ini karena China merupakan pasar ekspor terbesar bagi Indonesia, sehingga jika inflasi China terus menurun bahkan menyebabkan deflasi, maka kabar ini menjadi kurang menggembirakan bagi saham-saham yang berorentiasi ekspor, termasuk yang ada di dalam sektor bahan baku.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Loyo, GOTO dan 3 Raksasa Batu Bara Jadi Beban
