
Borong 62 Ton Emas, China Langsung Untung Rp 8 Triliun

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia pada pekan lalu sempat menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072/troy ons, menyamai torehan Agustus 2020 lalu.
Dengan kenaikan tajam tersebut tentunya menguntungkan banyak pihak, salah satunya bank sentral China (People's Bank of China/PboC).
Pada November 2022 lalu, PBoC memborong emas sebanyak 32 ton. Pembelian emas itu menjadi yang pertama kali sejak September 2019 atau lebih dari tiga tahun lalu, sebagaimana dilaporkan World Gold Council (WGC).
Sebulan berselang, PBoC kembali memborong 30 ton emas, sehingga total menjadi 62 ton.
Pada November dan Desember 2020, harga emas dunia masih di bawah US$ 1.800/troy ons. Dalam dua bulan tersebut, rata-rata harga emas berada di kisaran US$ 1.763/troy ons.
Untuk diketahui 1 ton setara dengan 29.166,7 troy ons. Sehingga ketika harga emas meroket ke US$ 2.072/troy ons, PBoC sudah untung sekitar US$ 558 juta atau lebih dari Rp 8 triliun (kurs Rp 14.700/US$).
Tidak hanya PboC, bank sentral lain pun mendapat untung. Berdasarkan laporan WGC akhir Januari lalu, bank sentral di seluruh dunia memborong emas sebanyak 1.136 ton pada 2022, menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Salah satu pemicu pembelian emas tersebut adalah diversifikasi aset selain obligasi AS (Treasury) dan dolar AS.
"Ini tren berkelanjutan. Anda bisa melihat apa yang menjadi pemicu aksi beli itu. Ada masalah geopolitik, perekonomian yang dipenuhi ketidakpastian, serta volatilitas tinggi," kata Krishan Gopaul, analis dari WGC sebagaimana dilansir Reuters, awal Februari lalu.
Tren pembelian emas oleh bank sentral dimulai pasca krisis finansial global 2008. Sebelumnya, yang terjadi kebalikannya. Bank sentral, khususnya di Eropa terus menjual ratusan ton emas sejak 1990.
Pembelian emas sempat mengalami penurunan cukup signifikan saat awal pandemi penyakit virus corona (Covid-19), kemudian terakselerasi pada semester II-2022.
Salah satu pemicunya yakni dedolarisasi yang semakin marak pasca perang Rusia dengan Ukraina. Perang tersebut membuat Amerika Serikat dan Sekutu membekukan aset Rusia dalam bentuk dolar AS.
Banyak yang melihat Amerika Serikat menggunakan mata uangnya sebagai senjata menekan negara lain. Alhasil, banyak negara mulai mengurangi penggunaan dolar AS. Pangsa dolar AS di cadangan devisa global pun turun.
Data Currency Composition of Official Foreign Exchange Reserve (COVER) dari IMF, menunjukkan pada kuartal IV-2021, nilainya mencapai US$ 7.085,01 miliar, sementara pada kuartal IV-2022 sebesar US$ 6.471,28 miliar. Secara pangsa, pada 2021 sebesar 58,8%, sedangkan pada 2022 turun menjadi 58,4%. Pangsa tersebut menjadi yang terendah dalam 27 tahun terakhir.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article China Borong Emas 32 Ton, Emiten RI Ketiban Durian Runtuh
