Investor, Perhatikan Hal Ini Jika Suku Bunga AS Naik
Jakarta, CNBC Indonesia - Iklim ekonomi di seluruh dunia kini mendapatkan angin segar dan menuju momentum pemulihan. Hal ini tercermin dari tren inflasi dan harga energi yang mulai melandai, dan China yang menyudahi kontrol ketat pandemi lebih cepat dari perkiraan dapat memitigasi risiko resesi global.
Meski demikian, kabar baik ini tidak langsung membuat ekonomi global pulih. Riset HSBC Perspective Q2 2023 mengungkap masih ada kekhawatiran akan kenaikan suku bunga lebih lanjut oleh Federal Reserve (The Fed).
Global Chief Investment Officer HSBC Global Private Banking and Wealth, Willem Sels mengungkapkan harga sewa properti menjadi salah satu penyumbang terbanyak inflasi di AS, saat ini terus mencatatkan tren penurunan dan membuat inflasi secara keseluruhan di negeri Paman Sam itu juga menurun.
Meski begitu, hal tersebut diperkirakan Willem akan membuat The Fed menaikkan suku bunga acuan ke kisaran 5,25%-5,5% di semester pertama tahun ini dan akan bertahan hingga kuartal II-2024.
Hal ini pun jelas berdampak pada pada laju siklus investasi. Willem mengatakan prospek suku bunga yang tinggi menyebabkan investasi seperti obligasi imbal hasil tinggi lebih rentan terpengaruh dibanding investasi yang lain.
"Jadi kami (di HSBC) memilih mengunci level imbal hasil saat ini dan lebih memilih jatuh tempo 5-7 tahun," ujar Willem dikutip Selasa (25/4/2023).
Willem menuturkan hal ini bukanlah jalan buntu bagi investor, karena bisa memanfaatkan momentum ini untuk berinvestasi di pasar Asia. Momentum tersebut adalah pembukaan kembali China atas perluasan ekonomi dan konsumsinya setelah pandemi, menguatnya pasar Hong Kong dan kawasan ASEAN yang diuntungkan dari rebound pariwisata China dan ekspor, hingga kinerja pasar saham ASEAN yang kuat di tahun lalu dan akan tetap bertahan tahun ini.
Selain investasi di pasar Asia, dalam riset ini HSBC pun memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan investor. Dengan begitu investor pun bisa menyusun portofolio investasi yang kuat meski ada ancaman kenaikan suku bunga. Simak empat tips dari HSBC berikut:
1. Mengunci Imbal Hasil Menarik Pada Obligasi Berkualitas Jangka Menengah
Investor dapat memanfaatkan kondisi tingkat imbal hasil obligasi yang saat ini masih relatif tinggi, untuk peluang apresiasi harga di masa mendatang. Inflasi akan turun dan suku bunga acuan menjadi stabil, sehingga obligasi dengan jatuh tempo menengah dinilai HSBC memberikan risk return yang seimbang untuk mengunci imbal hasil untuk jangka waktu lebih panjang.
2. Memanfaatkan Dorongan Pembukaan Kembali di Asia
HSBC memandang investor dapat mendulang untung dari investasi di pasar Asia, karena pembukaan dan pemulihan China atas ekonominya dari pandemi. Apalagi, hal itu juga berdampak pada kawasan Asia lainnya, seperti Hong Kong yang mengalami pertumbuhan aktivitas bisnis dan belanja konsumen.
Kemudian pasar ASEAN pun semakin memperkuat fundamental perekonomian, melalui pengurangan utang dan pembangunan infrastruktur secara masif dalam beberapa dekade terakhir.
3. Manfaatkan Kenaikan Sektoral dengan Fundamental Terbaik
Investor disarankan mempertimbangkan pendekatan yang lebih seimbang untuk menangkap kenaikan siklikal dan sektor defensif. HSBC dalam risetnya menyebutkan, ada potensi yang besar di sektor energi karena harganya yang menurun.
Misalnya saja di sektor kesehatan dengan permintaan berbagai obat-obatan yang kian melejit, konsumsi non primer yang kembali tumbuh berkat pasar yang dibuka kembali setelah pandemi, dan sektor teknologi yang memiliki banyak potensi perkembangan seperti kecerdasan buatan (AI), salah satunya ChatGPT.
4. Perkuat Portofolio dengan Environmental, Social, and Governance (ESG)
Menurut survei ESG HSBC (2022), mayoritas investor belum memperhitungkan keanekaragaman hayati saat menyusun portofolio investasi mereka. Padahal, ESG saat ini tengah menjadi tren kunci investasi yang utama karena memiliki dampak langsung pada ketahanan pangan, hingga perubahan iklim.
Investor juga dapat mempertimbangkan tema pertanian berkelanjutan, pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, dan ekonomi sirkular seiring dengan meningkatnya kesadaran akan masalah keanekaragaman hayati.
Dari semua hal di atas, HSBC menyimpulkan peringkat saham overweight atau saham yang memiliki kinerja lebih baik untuk 6 bulan ke depan berpeluang berada di saham Asia (kecuali Jepang) seperti China dan Hong Kong, kemudian saham di Thailand dan Indonesia untuk wilayah ASEAN, serta overweight pada obligasi korporasi mata uang USD pada pasar negara berkembang Asia. HSBC juga positif akan prospek saham AS secara umum, serta negara berkembang Amerika Latin khususnya Meksiko dan Brasil.
Sebagai informasi tambahan, untuk mengetahui market update dan informasi terkini mengenai tren investasi silakan kunjungi HSBC Indonesia.
(dpu/dpu)