Rupiah Tiba-Tiba Balik Menguat, Ada Apa?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 May 2023 15:14
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (3/5/2023) setelah tertekan nyaris sepanjang perdagangan.

Rupiah membuka perdagangan dengan stagnan, kemudian melemah 0,14%. Selepas tengah hari rupiah perlahan memangkas pelemahan hingga akhirnya menutup perdagangan di Rp 14.680/US$, menguat 0,14% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Pelaku pasar menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) pada Kamis dini hari waktu Indonesia.

Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5% - 5,25%. Pasar juga akan melihat, apakah level tersebut menjadi akhir periode kenaikan suku bunga, hingga peluang dipangkas pada akhir tahun nanti.

Pengumuman kebijakan moneter The Fed akan mempengaruhi pergerakan rupiah ke depannya.

Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin melaporkan Indeks Harga Konsumen bulan April 2023 mengalami inflasi sebesar 0,33% secara bulan ke bulan (month to month/mtm), dan secara tahunan sebesar 4,33% (year on year/yoy).

Rilis tersebut lebih rendah dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi April 2023 akan menembus 0,47% (mtm), dan 4,51% (yoy).

Inflasi yang bisa dikatakan sukses dikendalikan menjadi salah satu pemicu penguatan rupiah sepanjang tahun ini yang tercatat sebesar 6,1%. Rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia, dan nomer tiga di dunia, berdasarkan data Refinitiv.

Saat inflasi terjaga, daya tarik aset-aset di dalam negeri pun meningkat. Hal ini terlihat dari aliran modal yang cukup deras masuk ke pasar obligasi. Sepanjang bulan lalu hingga 27 April, tercatat inflow ke pasar obligasi sebesar Rp 4,4 triliun, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR).

Dalam 4 bulan pertama tahun ini, outflow hanya terjadi pada Februari, inflow pada Januari bahkan mencapai Rp 49,7 triliun.

Kabar baik lainnya datang dari sektor manufaktur. S&P Global kemarin melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) pada April sebesar 52,7, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 51,9. Ekspansi sektor manufaktur tersebut juga menjadi yang tertinggi sejak September 2022.

Beberapa sentimen dari dalam negeri tersebut sebenarnya memberikan dampak positif ke rupiah, hanya saja perhatian utama tetap tertuju ke Amerika Serikat.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi Amerika Diramal Meninggi, Rupiah Bisa Menguat Lagi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular