China Ingin Akhiri Dominasi Dolar, Fantasi Atau Bisa Terjadi?
Jakarta, CNBC Indonesia - China menjadi negara yang paling ambisius menurunkan dolar Amerika Serikat (AS) dari singgasana mata uang paling berpengaruh di dunia. Namun, upaya tersebut masih menghadapi tantangan besar mengingat kuatnya cengkeraman 'king dollar' dalam perekonomian global.
Pergerakan Dollar Index tercatat melemah dalam satu bulan terakhir setelah krisis perbankan mengguncang AS serta ekspektasi melunaknya kebijakan moneter bank sentral AS The Fed. Saat ini indeks dolar bergerak di kisaran 102.
Selain pergerakannya yang melemah, mata uang Greenback juga dalam sorotan setelah banyak negara memilih untuk meninggalkan mereka dalam bertransaksi.
Yuan China, misalnya, telah menggantikan dolar AS sebagai mata uang yang paling banyak diperdagangkan di Rusia, setahun setelah invasi Ukraina menyebabkan serangkaian sanksi Barat terhadap Moskow.
Yuan telah melampaui dolar dalam volume perdagangan bulanan di Rusia untuk pertama kalinya pada periode Februari, lalu berlanjut pada Maret berdasarkan laporan laporan transaksi harian dari Moscow Exchange.
Meski demikian, Rusia hanya mewakili sejumlah kecil ekonomi global dan di saat bersamaan yuan juga masih memiliki keterbatasan dengan dominasi dolar diyakini tidak akan hilang dalam waktu dekat.
Posisi Yuan China dipastikan akan semakin penting tetapi tidak serta merta bisa menggantikan Greenback sebagai mata uang cadangan global.
Butuh beberapa perubahan yang benar-benar radikal pada model ekonomi China untuk mampu menjadi raja baru dalam percaturan mata uang global.
Pangsa dolar AS dalam cadangan devisa bank sentral global memang tercatat turun dalam beberapa tahun terakhir, tetapi masih menyumbang hampir 60% dari total, lebih dari gabungan semua mata uang lainnya, menurut Dana Moneter Internasional (IMF).
Dan keunggulan dolar dalam perdagangan global juga tetap solid. Sekitar setengah dari perdagangan global ditagih dalam dolar, jauh di atas porsi AS dalam perdagangan internasional, menurut Bank for International Settlements.
Hal ini karena greenback lazim digunakan untuk menyelesaikan perdagangan yang tidak melibatkan perusahaan AS, dan perusahaan non-AS tersebut juga menggunakan mata uang untuk pendanaan. Sekitar setengah dari pinjaman lintas negara dan utang internasional di pasar luar negeri didenominasi dalam dolar AS. Pasar modal Amerika dengan aturan yag lebih matang ikut mendorong perusahaan di luar negeri untuk berinvestasi serta mengumpulkan uang di sana.
Namun, dengan AS menjadikan dominasi dolar sebagai senjata, negara lain, terutama yang menghadapi sanksi AS, akan mencoba mencari alternatif. Yuan China, mata uang negara adidaya yang berkuasa, adalah salah satu kandidatnya. Namun tahun lalu, yuan hanya menyumbang 2,7% dari cadangan mata uang asing global.
Salah satu penghalang yang jelas namun penting untuk penggunaan yuan yang lebih luas adalah bahwa negara tersebut masih memiliki kontrol modal yang ketat. Hal tersebut membatasi berapa banyak perusahaan asing yang hendak berinvestasi dan melakukan pinjaman dalam yuan, di luar perdagangan langsung dengan China.
Mengingat ukurannya dalam perdagangan global, China mungkin dapat menyelesaikan lebih banyak perdagangannya dengan negara lain dalam yuan, tetapi penerima juga perlu menginvestasikan yuan milik mereka di tempat yang aman.
Pasar modal China yang masih berkembang dan peraturan ketat tentang investasi langsung atas portofolio China Daratan oleh investor asing merupakan masalah yang signifikan. Pasar yuan juga kecil dibandingkan dengan banyak mata uang negara maju.
Penggunaan luas yuan untuk tujuan investasi juga dapat menyebabkan perubahan besar lainnya bagi Tiongkok seperti tingkat tabungan domestik yang lebih rendah dan mata uang yang lebih mahal.
Perubahan ke arah tersebut akan menimbulkan tantangan langsung terhadap model pertumbuhan negara saat ini, yang masih sangat bergantung pada ekspor dan modal murah buatan dalam negeri. Sehingga untuk saat ini King Dollar masih terlihat cukup aman.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(mae/mae)