Alarm Resesi AS Berbunyi Nyaring, Rupiah Dekati Rp 15.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Selasa, 28/03/2023 15:07 WIB
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga mendekati lagi level psikologis Rp 15.000/US$ pada perdagangan Selasa Membaiknya sentimen pelaku pasar membuat rupiah menguat, meski demikian pelaku pasar masih berhati-hati, sebab ke depannya perekonomian dunia masih dipenuhi ketidakpastian.

Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.085/US$, menguat 0,46%. Sebelumnya Mata Uang Garuda sempat menyentuh Rp 15.060/US$. 

Sentimen pelaku pasar yang cukup bagus, dilihat dari pergerakan bursa saham AS dan Eropa, di mana saham sektor perbankan menguat tajam.


Meski demikian, banyak pelaku pasar dikatakan masih enggan masuk ke aset berisiko dan perbankan pada khususnya. Sebab, tekanan besar masih bisa datang.

"Banyak investor masih enggan masuk ke sektor perbankan akibat khawatir tekanan besar masih akan datang. Mereka menaruh perhatian pada kemungkinan peningkatan beban yang akan ditanggung perbankan akibat pengetatan regulasi, dan perbankan yang lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit bisa memberikan dampak negatif ke pertumbuhan ekonomi," kata Russ Mould, direktur investasi di AJ Bell dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International.

Kemungkinan terjadi resesi di Amerika Serikat juga dikatakan semakin dekat pasca gonjang-ganjing sektor perbankan. Hal ini bahkan diungkapkan oleh Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari dalam wawancaranya dengan CBS.

"Ini jelas membawa kita semakin dekat (dengan resesi) saat ini, apa yang belum jelas bagi kami saat ini adalah seberapa banyak tekanan perbankan yang bisa membuat krisis kredit meluas. Kemudian, krisis kredit akan memperlambat perekonomian," kata Kashkari sebagaimana dilansir CNBC International.

Alarm resesi Amerika Serikat kembali berbunyi nyaring. Imbal hasil (yield) obligasi kembali mengalami inversi, yang menjadi alarm tersebut.

Dalam kondisi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Sementara saat inversi kebalikannya, yield obligasi jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.

Di Amerika Serikat, inversi terjadi antara yield Treasury tenor 2 tahun dengan tenor 10 tahun

Inversi bisa dilihat dari spread (selisih) yield tenor 10 tahun dengan 2 tahun. Ketika spread-nya negatif artinya mengalami inversi. Pada Selasa (7/3/2023) selisihnya sempat menembus -103,5 basis poin, menjadi yang terbesar dalam lebih dari empat dekade terakhir, berdasarkan data Refinitiv.

Kali terakhir selisih sebesar 100 basis poin atau 1% terjadi pada 1981, Amerika Serikat dalam kondisi yang sama mengalami inflasi tinggi. Saat itu, resesi akhirnya terjadi dan tingkat pengangguran meroket.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS