Saham SRTG Korban Krisis SVB, Masih Ada Peluang Cuan?

fsd, CNBC Indonesia
14 March 2023 13:54
Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (9/5/2022). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Foto: Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (9/5/2022). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terguncang kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank. Sejumlah saham pun turut mengalami imbasnya.

Wajar, kejatuhan dua bank berskala besar di Amerika Serikat tersebut menimbulkan kepanikan kepada seluruh investor saham di seluruh dunia. Alhasil, saham-saham perbankan mengalami tekanan jual tinggi (selloff) di seluruh dunia.

Investor waswas apakah akan ada bank lain yang jatuh setelah SVB dan Signature Bank. Apalagi banyak ditulis bahwa SVB dan Signature Bank jatuh sebagai korban dari kebijakan kenaikan suku bunga acuan yang agresif dari bank sentral AS yaitu Federal Reserve (The Fed).

Tercatat puluhan saham mengalami kejatuhan hingga mentok batas bawah alias auto rejection bawah (ARB). Saham-saham milik pengusaha besar yang jatuh antara lain PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) milik keluarga Panigoro tercatat turun 6,83% (Rp 70) ke Rp 955/saham. Tak hanya itu, saham PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) milik pengusaha nasional Garibaldi "Boy" Thohir tercatat turun 6,14% (Rp 70) ke Rp 1.070/saham pada Selasa kemarin, hari saat kabar kejatuhan keduanya kian menyeruak.

PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) yang dimiliki oleh Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaja juga mengalami penurunan 6,98% atau Rp 150 menjadi Rp 2.000/saham di hari itu. Kemarin, saham SRTG naik 0,26% ke level Rp 1.905 per saham. Meski begitu, saham ini mengakumulasi penurunan 15% dalam sepekan.

Analis Mirrae Asset Sekuritas Indonesia, Hariyanto Wijaya dalam risetnya menilai, harga saham SRTG layak untuk dihargai lebih tinggi. Ada 4 alasan yang mendasari analisis Mirrae.

Pertama, NAV SRTG terus meningkat. Dengan harga saham saat ini, dimana kapitalisasi pasar SRTG sekitar Rp 27 triliun, mencerminkan diskon hingga 46% terhadap NAV.

Sebelumnya Presiden Direktur Saratoga Michael William P. Soeryadjaya mengatakan pada tahun 2022 Saratoga mencapai Net Asset Value (NAV) sebesar Rp60,9 triliun. Nilai tersebut naik 8% dibandingkan tahun 2021 sebesar Rp56,3 triliun. Pertumbuhan NAV yang tetap positif di tengah berbagai tekanan faktor ekonomi sepanjang tahun lalu membuktikan soliditas dari strategi investasi dan kuatnya fundamental bisnis portofolio investasi Saratoga.

"Saratoga menutup tahun 2022 dengan dukungan modal yang solid, sehingga perusahaan memiliki ruang yang lebar dalam mengeksekusi strategi investasinya. Kami berharap peningkatkan portofolio investasi Saratoga akan terus berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan membuka lebih banyak lapangan kerja bagi Indonesia," kata Michael melalui keterangan resmi Senin (13/3).

Kedua, Mirrae menilai pengurangan utang membuat neraca SRTG jadi lebih sehat. Sementara faktor ketiga, kas bersih yang terus meningkat serta alasan keempat adanya potensi bagi SRTG untuk meraih pendapatan dividen yang lebih tinggi dalam enam bulan ke depan.

Namun Mirrae juga mengingatkan ada beberapa risiko yang dihadapi oleh Saratoga. Seperti pendapatan dividen dibawah perkiraan, penurunan harga komoditas seperti emas, tembaga, batubara dan nikel. Faktor negatif lainnya jika pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah daripada proyeksi.

Sementara, Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan mengatakan investor perlu memahami bagaimana menilai valuasi saham perusahaan investasi seperti Saratoga. Karena strategi bisnis Saratoga adalah berinvestasi di perusahaan portofolio, bukan mengelola secara langsung operasional bisnis seperti korporasi pada umumnya.

Menurut Alfred, sumber utama keuntungan perusahaan investasi berasal dari pendapatan dividen dan kenaikan nilai saham dari portofolio investasi. Namun kenaikan nilai saham tersebut hanya dicatatkan dalam pos investasi di neraca dimana selisih yang dicatat sebagai laba masih unrealized.

Faktor inilah yang membuat laba perusahaan investasi seringkali mengalami fluktuasi. Berbeda halnya jika perusahaan melakukan divestasi atau penjualan terhadap portofiolionya, sehingga keuntungannya bisa masuk ke kas perusahaan.

"Kinerja Saratoga tidak hanya bisa dilihat dari aspek bottom line, laba atau rugi bersih. Karena fluktuasi harga saham portopolio akan mempengaruhi nilai investasi sehingga berdampak terhadap perhitungan laba. Jadi yang harus dilihat cashflow dan pertumbuhan asetnya, itu yang menjadi acuan menilai perusahaan investasi," ujar Alfred


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dua Hari di Zona Merah, IHSG Kembali Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular