Market Insight

IHSG Minim Gairah, 4 Saham Bank Big Cap Ikut Loyo

Tri Putra, CNBC Indonesia
09 March 2023 14:25
Karyawan beraktivitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (23/11/2022). IHSG ditutup menguat 0,33 persen atau 23,53 poin ke 7.054,12 pada akhir perdagangan, sebanyak 249 saham menguat, 255 saham melemah, dan 199 saham stagnan. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Karyawan beraktivitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (23/11/2022). IHSG ditutup menguat 0,33 persen atau 23,53 poin ke 7.054,12 pada akhir perdagangan, sebanyak 249 saham menguat, 255 saham melemah, dan 199 saham stagnan. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham empat bank besar (big cap) masih kurang bergairah di awal 2023 ini. Sebagai penopang Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), loyonya bank kakap tersebut turut membuat pasar lesu.

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), per penutupan Rabu (8/3/2023), IHSG turun 1,08% secara year to date (YtD) ke level 6.776,37.

Ketidakpastian makro, risiko resesi, di tengah pandangan hawkish bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed), membuat investor khawatir.

Apalagi, testimoni teranyar Ketua The Fed Jerome Powell di Kongres AS, pada Selasa dan Rabu waktu AS, soal sinyalmen suku bunga kemungkinan akan naik lebih tinggi dari yang diharapkan kembali membuat appetite pelaku pasar saham merosot.

Hal tersebut pada gilirannya ikut membuat investor asing menahan mengalirkan dana ke pasar saham RI.

Ini terlihat dari nilai transaksi asing yang mencatatan penjualan bersih (net sell) Rp2,00 triliun di pasar reguler secara YtD.

Selain itu, kondisi likuiditas pasar saat ini terbilang seret. Nilai transaksi harian bursa yang sering di rentang Rp7 triliun hingga Rp9 triliun. Ini tentu jauh di bawah rerata IHSG nilai transaksi harian BEI pada 2022 yang mencapai Rp14-an triliun.

Kurangnya katalis dan valuasi IHSG yang terbilang kurang atraktif dibandingkan sejumlah indeks saham Asia lainnya, terutama seiring pembukaan ekonomi China, menjadi penyebab loyonya dan minimnya dana asing ke bursa domestik akhir-akhir ini.

Saham Bank Kakap

Seperti disinggung di atas, saham-saham bank jumbo masih belum nendang.

Saham PT Bank Sentral Asia Tbk (BBCA) hanya naik 0,29% YtD di tengah jual bersih (net sell) asing Rp1,27 triliun. Angka net sell asing ini terbesar kedua di bursa saat ini.
Ini artinya, investor lokal menjadi penopang penurunan BBCA di saat asing cenderung jual saham bank Grup Djarum tersebut.

Selain BBCA, ada bank BUMN PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang mencatatkan net sell terbesar YtD, mencapai Rp1,52 triliun. Seperti BBCA, harga saham BMRI tetap menguat 3,53% sejak awal tahun.

Sebaliknya, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) merosot 2,02% YtD, kendati mendapatkan aliran dana asing (net buy) Rp1,34 triliun, terbesar di bursa.
Saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga menerima net buy Rp1,03 triliun YtD, terbesar ketiga. Hanya saja, saham BBNI juga ikut merosot 3,79%.

Kode Ticker

Harga

Kinerja (YtD)

Net Buy (Sell) YtD

BBCA

Rp8.575

0,29%

(Rp1,27 T)

BBRI

Rp4.840

-2,02%

Rp1,34 T

BMRI

Rp10.275

3,53%

(1,52 T)

BBNI

Rp8.875

-3,79%

1,03 T

Sumber: BEI, RTI (diolah) | *Data per 8 Maret 2023

Secara kinerja fundamental, keempat bank tersebut dalam kondisi yang prima. BCA mencatatkan laba bersih Rp40,7 triliun sepanjang 2022. Laba tersebut meningkat 29,6% dibandingkan periode sebelumnya, yakni sebesar Rp31,42 triliun.
Kemudian, BRI juga berhasil mencatat kinerja impresif pada 2022 dengan mencetak laba bersih konsolaidasian yang diatribusikan ke pemilik induk sebesar Rp 51,17 triliun. Laba tersebut tercatat naik tinggi 64,71% dibandingkan pencapaian 2021.

Laba BRI menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah perbankan RI.

Sedangkan, Bank Mandiri berhasil mencatatkan laba bersih sebesar Rp41,2 triliun di sepanjang tahun 2022. Perolehan ini meningkat 46,89% dari tahun sebelumnya sebesar Rp 28,02 triliun

Tidak ketinggalan, BNI membukukan laba bersih sebesar Rp18,3 triliun sepanjang 2022. Angka ini naik 68% dibandingkan laba bersih tahun 2021 dengan perolehan laba senilai Rp10,89 triliun.

Namun, soal valuasi, berdasarkan price-to book value (PBV) band, saham BBCA diperdagangkan 4,78 kali di atas nilai bukunya, atau di atas rerata 5 tahun yang sebesar 4,52 kali. Ini bukan valuasi yang atraktif buat investor jangka menengah hingga jangka panjang.
Saham BBRI berada di rasio PBV 2,25 kali, sedikit di bawah rerata 5 tahun (2,49 kali).

Sementara, saham BMRI juga diperdagangkan di valuasi yang lebih mahal dibandingkan rerata historis 5 tahun terakhir (PBV 1,76 kali). Saat ini, rasio PBV BMRI di angka 2,09 kali, di atas (+1) standar deviasi PBV.

Adapun, BBNI memiliki PBV 1,22 kali, hanya sedikit di atas rata-rata 5 tahun yang sebesar 1,18 kali.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular