
Dampak Surplus Transaksi Berjalan Singkat, Rupiah Keok Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Rilis data transaksi berjalan Indonesia yang mencetak surplus tidak memberikan dampak uang panjang terhadap nilai tukar rupiah. Setelah menguat Senin kemarin, kini rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv, rupiah melemah 0,2% ke Rp 15.185/US$.
Bank Indonesia (BI) kemarin melaporkan surplus transaksi berjalan tahun 2022 naik signifikan mencapai 13,2 miliar dolar AS atau 1% dari PDB. Angka surplus ini lebih tinggi dibandingkan dengan capaian surplus tahun 2021 sebesar 3,5 miliar dolar AS atau 0,3% dari PDB.
Catatan impresif transaksi berjalan ditopang oleh lonjakan ekspor. Perang Rusia-Ukraina yang meletus hampir setahun lalu melambungkan harga komoditas energi dan pangan.
Indonesia pun ketiban durian runtuh berkat lonjakan harga batu bara, minyak sawit mentah (CPO) dan nikel.
Ekspor barang tercatat US$ 292,55 miliar pada 2022 sementara impor tercatat US$ 229, 87 miliar. Dengan demikian,neraca ekspor impor barang mencatat surplus US$ 62,68 miliar.
Transaksi berjalan menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Sayangnya itu di atas kertas, nyatanya devisa tersebut tidak berada di Indonesia, terbukti dari cadangan devisa yang terus menurun pada tahun lalu.
Hal ini membuat dampak dari surplus transaksi berjalan ke rupiah tidak akan lama. Terbukti, rupiah hari ini bergerak fluktuatif.
Di sisi lain, pasar juga melihat bank sentral AS (The Fed) berpeluang lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuannya pada tahun ini akibat pasar tenaga kerja yang masih kuat.
Departemen Tenaga Kerja AS pada awal bulan ini melaporkan sepanjang Januari perekonomian Paman Sam mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll), jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 260.000 orang.
Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,5%. Persentase penduduk yang tidak bekerja tersebut berada di posisi terendah sejak Mei 1969.
Kemudian, rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% year-on-year, lebih tinggi dari prediksi 4,3%.
Dengan pasar tenaga kerja yang kuat apalagi rata-rata upah naik masih cukup tinggi, daya beli masyarakat tentunya masih kuat. Saat demand masih tinggi, inflasi akan sulit menurun.
Pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga tiga kali lagi pada Maret, Mei dan Juni masing-masing sebesar 25 basis poin hingga menjadi 5,25% - 5,5%. Ini artinya pasar melihat suku bunga bisa lebih tinggi dari proyeksi yang diberikan The Fed 5% - 5,25%.
Ekonom Bank of America, Michael Gaspen juga sepakat, melihat terminal suku bunga The Fed di kisaran 5,25% - 5,5%.
Semakin tinggi suku bunga, bahkan jika ditahan dalam waktu yang lama tentunya bisa membuat perekonomian merosot, resesi semakin mengancam tidak menutup kemungkinan cukup dalam.
Di sisi lain, pasar finansial global tentunya akan bergejolak. Capital outflow bisa terjadi di pasar obligasi emerging market seperti Indonesia, rupiah berisiko kembali jeblok.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
