Suku Bunga Naik! Segera Kumpulin dan Buang Saham-Saham Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan untuk keenam kali beruntun setelah satu setengah tahun ditahan di tingkat terendah sepanjang sejarah selama pandemi. Hasil Rapat Dewan Gubernur terbaru memutuskan suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) naik sebesar 25 basis point (bps) menjadi 5,75%.
Pengetatan kebijakan moneter mengakibatkan lebih sedikit uang yang beredar, meningkatkan nilainya dan pada akhirnya mampu menekan angka inflasi. Kenaikan suku bunga tersebut akan menjalar ke seluruh sektor perekonomian dari mulai bisnis raksasa dan UMKM hingga pengeluaran personal rumah tangga.
Suku bunga tinggi juga dapat menjadi ancaman bagi investor pasar modal. Tahun lalu, kala bank sentral AS secara agresif menaikkan suku bunga acuannya, kinerja indeks utama Wall Street bahkan sempat terseret dalam tren bearish. Sementara itu dari dalam negeri sendiri, kenaikan suku bunga BI yang mulai dilakukan jelang akhir kuartal ketiga tahun lalu juga menjadi salah satu alasan return IHSG terpangkas signifikan dari sempat tumbuh dua digit secara year-to-date, lalu berakhir satu digit dengan pertumbuhan relatif moderat sepanjang tahun 2022. Meski demikian, kinerja IHSG tahun lalu merupakan salah satu yang terbaik di dunia dibandingkan indeks acuan global utama.
Potensi dan Tantangan Bagi Sejumlah Sektor
Sejumlah sektor berpotensi untuk diuntungkan dari kenaikan suku bunga BI, meskipun terdapat pula tantangan yang mengiringi. Beberapa sektor tersebut termasuk keuangan, energi, kesehatan dan utilitas serta telekomunikasi.
Sektor keuangan diuntungkan dari potensi kenaikan margin bunga bersih yang akan berkontribusi lebih bagi perbaikan kinerja pendapatan dan laba perusahaan. Namun ada pula tantangan yang dihadapi oleh perusahaan perbankan yakni potensi mendinginnya pertumbuhan kredit karena pelaku usaha mulai mengevaluasi keputusan melakukan pinjaman dengan bunga yang lebih tinggi. Akan tetapi offset yang diperoleh dari kenaikan bunga pinjaman tampaknya masih cukup menjadi bahan bakar perbaikan kinerja keuangan perusahaan.
Sektor energi juga diharapkan tetap membukukan kinerja yang positif dalam era suku bunga tinggi. Hal ini mengingat karena kenaikan suku bunga secara umum dilakukan untuk menjinakkan inflasi yang terdorong oleh kenaikan harga komoditas dan energi.
Selanjutnya adalah sektor yang terbukti tangguh melawan resesi yang mungkin muncul kala kebijakan moneter diperketat. Sektor kesehatan dan utilitas diharapkan akan tetap tumbuh dan tidak terdampak oleh kenaikan suku bunga. Hal ini karena keduanya merupakan salah satu kebutuhan paling dasar yang pos alokasinya menjadi yang terakhir untuk dilakukan perubahan, meski dalam situasi keuangan yang sulit.
Kemudian terdapat sejumlah sektor yang perlu diperhatikan oleh investor yang kinerjanya berpotensi tertekan akibat kenaikan suku bunga.
Pertama adalah sektor konsumer yang meski dikenal sebagai sektor defensif namun tetap memiliki tantangan tersendiri. Pendapatan perusahaan yang bergerak di sektor ini memang tidak akan terlalu berpengaruh dan bahkan berpotensi akan tetap tumbuh kala suku bunga tinggi. Akan tetapi hal yang perlu disimak adalah terkait kinerja bottom line yang berpotensi tertekan. Hal ini dapat terjadi karena inflasi tinggi ikut mengerek harga bahan baku dan biaya operasional yang akhirnya memangkas pertumbuhan laba, jika perusahaan memilih untuk menahan kenaikan harga jual demi menjaga daya saing dengan kompetitor dan mempertimbangkan daya beli masyarakat.
Kemudian ada sektor teknologi yang berpotensi terdampak signifikan oleh pengetatan kebijakan moneter. Saham-saham dengan orientasi pertumbuhan (growth) menjadi pilihan terakhir investor ketika peredaran uang surut di masyarakat. Apalagi bagi sebagian perusahaan yang masih membukukan kerugian dan harus ditopang oleh dana investor untuk menjalankan bisnis.
Meski demikian ada strategi investasi dan pandangan bahwa investor dalam mengambil kesempatan dan posisi sulit yakni dengan membeli di harga bawah (buy the dip). Strategi ini menuntut investor untuk jeli dalam memilih kapan waktu yang tepat menginvestasikan uangnya, karena timing menjadi hal yang paling sensitif. Salah satu acuan yang bisa digunakan adalah terkait kapan bank sentral - global atau lokal - menaikkan suku bunga acuannya untuk yang terakhir kali dan seberapa tinggi angka terakhir (terminal rate) dan seberapa cepat suku bunga diturunkan kala pandangan bank sentral mulai berbalik arah menjadi dovish.
Hal ini menjadi penting karena saham-saham sektor teknologi atau gworth stock secara umum secara historis mencatatkan kinerja fantastis di era suku bunga rendah.
Suku bunga tinggi tidak mungkin selamanya dipertahankan dan akan bergerak naik dan turun tergantung situasi ekonomi. Bank sentral sering kali menurunkan suku bunga saat pertumbuhan ekonomi melambat atau terjadi resesi dan kemudian menaikkan suku bunga untuk mendinginkan ekonomi saat inflasi naik tajam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/fsd)