Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan pada pekan kedua tahun 2023 cenderung mencatatkan kinerja yang cemerlang. Meskipun, pada dasarnya tekanan ekonomi global masih saja menjadi 'momok' mengerikan bagi dunia tak terkecuali Indonesia.
Namun pekan ini kabar baik satu persatu mulai menghampiri pasar keuangan Tanah Air. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu ditutup menguat 0,18% di posisi 6641,83. Data pasar menunjukkan investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih senilai Rp 1,84 triliun di seluruh pasar sepanjang pekan ini.
Penguatan IHSG tentunya dipicu oleh angin segar dari Amerika Serikat (AS) langsung direspons positif oleh pelaku pasar saham Indonesia.
Seperti diketahui, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi AS melandai ke 6,5% (year on year/yoy) pada Desember 2022 dari 7,1% (yoy) pada November 2022. Inflasi tersebut adalah yang terendah sejak Oktober 2021.
Secara bulanan (month to month/mtm), AS bahkan mencatatkan deflasi 0,1% pada Desember. Deflasi ini adalah yang pertama kalinya terjadi sejak Mei 2020.
Melandainya inflasi ini tentu saja menjadi kabar positif bagi pelaku pasar saham. Dengan inflasi yang terus melandai, bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) diharapkan makin melonggarkan kebijakan moneter mereka.
Sementara, Nilai tukar rupiah juga turut tampil cemerlang pekan ini. Pada perdagangan Jumat (13/1/2023), rupiah ditutup di posisi Rp 15.140/US$, di pasar spot atau menguat 1,29%.
Penguatan sebesar itu menjadi yang tertinggi sejak 5 Juni 2020 atau 3,5 tahun terakhir. Pada tanggal tersebut, rupiah menguat sebesar 1,52%.
Posisi rupiah pada Jumat (13/1/2023) yang berada di Rp 15.140/US$1 juga menjadi yang terkuat sejak 27 September 2022 atau 3,5 bulan terakhir. Penguatan rupiah secara tajam ini tentu menjadi kabar baik mengingat mata uang Garuda terus terpuruk sejak September 2022 hingga akhir tahun 2022.
Dalam lima hari perdagangan pekan ini, rupiah juga hanya sekali melemah yakni pada Selasa. Secara keseluruhan, rupiah menguat 3,24% dalam sepekan secara point to point. Penguatan sebesar 3,24% menjadikan rupiah sebagai salah satu mata uang terbaik Asia pekan ini.
Cemerlangnya rupiah merupakan imbas positif dari melemahnya dolar Amerika Serikat (AS), kebijakan dalam negeri terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE), serta derasnya capital outflow ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Indeks dolar anjlok ke 102,204 pada penutupan perdagangan akhir pekan ini, Jumat (13/1/2023). Posisi tersebut adalah yang terendah sejak awal Juni 2022 atau tujuh bulan terakhir.
Dolar AS jeblok sejalan dengan ekspektasi pelonggaran kebijakan The Federal Reserve (The Fed). The Fed diperkirakan akan melonggarkan kebijakan moneternya sejalan melandainya inflasi AS menjadi 6,5%(year on year/yoy) pada Desember 2022, dari 7,1% pada November 2022.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Februari dan Maret dengan probabilitas sebesar 94% dan 76%. Dengan proyeksi tersebut, puncak suku bunga The Fed berada di 4,75% - 5%.
Selain itu, perangkat yang sama menunjukkan The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin pada September dengan probabilitas sebesar 34%, begitu juga sebulan setelahnya. Sehingga di akhir tahun pasar melihat suku bunga The Fed berada di 4,25% - 4,5%.
Baca Halaman Selanjutnya >>> Simak Sejumlah Sentimen Penting Pekan Depan
Mampukah pasar keuangan meneruskan kinerja cemerlangnya pekan ini? Setidaknya, ada beberapa hal yang penting dicermati oleh para investor.
Pertama, dari dalam negeri, di awal pekan semua mata patut tertuju pada rilis data neraca perdagangan internasional Indonesia periode Desember 2022 pada Senin (16/1/2023).
Surplus neraca perdagangan diperkirakan menyusut sangat dalam pada Desember 2022. Pelemahan ini sejalan dengan perlambatan ekonomi global.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Desember 2022 sebesar US$ 3,92 miliar. Surplus tersebut jauh lebih rendah dibandingkan November 2022 yang mencapai US$ 5,16 miliar.
Jika prakiraan tersebut menjadi kenyataan maka surplus pada Desember 2022 akan menjadi yang terendah sejak Mei 2022. Sebagai catatan, Indonesia melarang ekspor CPO pada bulan tersebut. Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan tumbuh 6,6% (year on year/yoy) sementara impor ambruk 3,1%.
Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 32 bulan beruntun. Sebagai catatan, nilai ekspor November 2022 mencapai US$ 24,12 miliar atau naik 5,6% (yoy). Impor tercatat US$ 18,96 miliar atau melandai 1,89% (yoy).
Kedua, sentimen utama datang dari China yang akan mengumumkan banyak data penting pada Selasa (17/1/2022) pekan depan. Diantaranya ada rilis PDB, rilis data produksi industri, rilis penjualan ritel, hingga rilis data tingkat pengangguran.
Semua data ini penting untuk melihat seberapa kuat ekonomi China bertahan di masa sulitnya akibat Covid-19. Untuk diketahui, China telah merevisi lebih tinggi tingkat pertumbuhan PDB 2021 menjadi 8,4% dari 8,1% sebelumnya.
Untuk diketahui, Kejatuhan ekonomi dua negara besar dunia, China dan Amerika Serikat (AS), akan menimbulkan dampak besar bagi dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Ancaman kontraksi ekonomi di China akibat kebijakan zero-Covid akan berdampak pada perekonomian domestik. Oleh karena itu, yang dikhawatirkan adalah ekspor Indonesia tahun 2023 akan tertekan akibatnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkapkan bahwa kontraksi 1% ekonomi China dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3%-0,6%.
"Apabila mereka melemah 1 persen, pengaruhnya ke Indonesia akan mengalami penurunan 0,3 sampai 0,6 persen," ungkap Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Di saat yang sama, Sri Mulyani pun mengungkapkan bahwa perlambatan China akan mempengaruhi ekspor, impor dan pariwisata RI. Menurutnya, China menyumbang turis asing yang besar.
Ketiga, akan ada data penting juga yang dinantikan dari Inggris. Di mana, inggris akan mengumumkan data angka pengangguran, inflasi yang dilengkapi pula dengan rilis data inflasi zona eropa. Data ini tentunya penting untuk memberikan rekomendasi atas kebijakan ECB.
Trading Economic memperkirakan bahwa tingkat pengangguran di Inggris naik tipis menjadi 3,7% dalam tiga bulan hingga Oktober 2022 dari 3,6% pada periode sebelumnya, sesuai dengan perkiraan pasar. Tingkat ketenagakerjaan juga naik menjadi 75,6% dari 75,4%, dengan gaji karyawan naik 107 ribu ke rekor 29,9 juta.
Keempat, pelaku pasar juga patut mencermati podato dari pejabat ECB terkait sinyal kebijakan moneternya. Kemudian, pidato dari pejabat The Fed pekan depan juga patut dicermati di mana akan memberikan sinyal terkait kebijakan moneternya yang akan datang.
Kelima, sentimen yang tak kalah pentingnya tentunya muncul dari Amerika Serikat (AS) yang bakal merilis data pentingnya seperi Indeks harga produsen, penjualan retail, serta produksi industri.
Selain itu, ada banyak pidato dari pejabat The Fed yang tentunya bakal mengisyaratkan kebijakan moneternya yang akan datang yang biasanya turut mempengaruhi kondisi pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA