
Fluktuasi Dolar Tak Pengaruhi Bisnis MTEL, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar kerap mengalami fluktuasi. Meski sempat stagnan, depresiasi nilai tukar Rupiah berlanjut jelang berakhirnya 2022.
Fluktuasi posisi nilai tukar rupiah ini disebabkan adanya kenaikan suku bunga The Fed yang menyentuh level 4,25%-4,5% dan diikuti oleh BI7DRR yang naik ke posisi 5,5%. Sehingga mendorong berlanjutnya capital outflow dari pasar keuangan Indonesia.
Kondisi ini dinilai berbagai pihak bakal berdampak terhadap banyak usaha yang memiliki pendapatan dalam bentuk rupiah, namun memiliki utang dalam bentuk dolar, khususnya sektor menara.
Namun pada kenyataannya tidak semua penyedia layanan menara diprediksi bakal mengalami nasib sial, karena penguatan dolar terhadap rupiah, salah satunya PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk(MTEL) atau Mitratel.
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Desy Israhyanti menyebutkan bahwa, fluktuasi kurs dolar tidak berdampak pada bisnis Mitratel karena menurut dia selain pendapatan MTEL dalam bentuk kurs rupiah. MTEL juga tidak memiliki utang dalam bentuk dolar.
"MTEL ini dinilai tidak begitu terdampak sebab pendapatannya dalam kurs rupiah dan utangnya pun juga dalam kurs rupiah," kata dia kepada CNBC Indonesia, belum lama ini.
Meski tak terdampak dengan posisi nilai tukar rupiah, Desy juga memproyeksikan bahwa bisnis menara cenderung menantang ke depannya. Namun, hal ini bergantung dari fundamental perusahaan, terutama dari sisi struktur permodalan mengingat nature bisnisnya yang tergolong capital intensive atau padat modal.
"Untuk MTEL sendiri kami lihat cukup ekspansif, di mana baru saja mengakuisisi fiber optik. Lalu, MTEL yang tertarik untuk mencaplok menara telekomunikasi milik Indosat juga dinilai berpotensi mengembangkan asetnya, apabila transaksi jadi dilakukan hal tersebut dapat memperkuat posisi MTEL di industrinya," papar dia.
Seperti diketahui belum lama ini Mitratel melakukan akuisisi fiber optik sepanjang 6.012 km milik PT Sumber Cemerlang Kencana Permai (SCKP) dan PT Trans Indonesia Superkoridor (TIS). Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko mengatakan, fiber optik tersebut tersebar di 86 kota & kabupaten di Indonesia yang menghubungkan 2.436 tower.
"Akuisisi ini diharapkan dapat meneruskan momentum dalam kelanjutan komitmen perusahaan dalam memperkuat pengelolaan aset dan lini bisnis yang dapat mendorong pertumbuhan kinerja organisasi yang lebih ideal, produktif, efektif, dan efisien," kata dia beberapa waktu lalu.
Sementara untuk fundamental bisnisnya, Mitratel berhasil meraup laba tahun berjalan senilai Rp 1,22 triliun, pada sembilan bulan pertama tahun 2022, loncat sekitar 18% secara year on year (yoy) dari Rp 1,03 triliun.
Di periode tersebut, Mitratel juga mencatatkan EBITDA sebesar Rp 4,4 triliun atau tumbuh 15,7% dari tahun lalu.
Sepanjang bulan Desember, saham MTEL mencatat kenaikan 4,1% dan menyentuh harga tertinggi Rp 770/saham pada penutupan perdagangan hari Selasa 27/12/22.
(bul/bul)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos MTEL Ungkap Laba Kuartal I 2023 Naik 9% Karena Hal Ini