
IHSG Jatuh 1%, Ini Penyebabnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi nyaris 1% pada perdagangan sesi I Selasa (20/12/2022).
Per pukul 11:05 WIB, IHSG merosot 0,9% ke posisi 6.718,89. IHSG sempat ambles 1%, meski hanya sejenak saja.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan sesi I hari ini mencapai sekitaran Rp 7 triliun dengan melibatkan 12 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 597 ribu kali. Sebanyak 147 saham menguat, 361 saham melemah dan 171 saham stagnan.
IHSG cenderung mengikuti pergerakan bursa saham global, yakni Asia dan Amerika Serikat (AS).
Bursa Asia juga terpantau kembali melemah. Indeks Nikkei 225 Jepang ambruk 2,56%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,36%, Shanghai Composite China melemah 0,64%, dan Straits Times Singapura terkoreksi 0,35%.
Sedangkan Wall Street juga terkoreksi kemarin. Indeks Dow Jones melemah 0,49%, S&P 500 merosot 0,91%, dan Nasdaq Composite ambles 1,49%.
Pada perdagangan hari ini, [elaku pasar mesti mencermati jika ancaman resesi masih menaungi pasar keuangan global, termasuk Indonesia.
China kembali kembali diprediksi mengalami lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19). Negeri Tiongkok diprediksi bakal mengalami tahun yang sulit.
Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh dibawah target pemerintah 5,5%.
Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976.
China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia juga terus melaporkan data negatif.
Kondisi China bisa memberikan dampak signifikan ke perekonomian global. Selain itu, China merupakan rekanan Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi perdagangan.
Di lain sisi, pasar masih menimbang dampak dari kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pekan lalu.
The Fed pada Kamis pelan lalu menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% - 4,5%.
Kenaikan tersebut memang lebih rendah dari sebelumnya yakni 75 basis poin (bp) selama 4 kali berturut-turut. Tetapi memproyeksikan suku bunga ke depannya berada di kisaran 5% - 5,25% dan akan dipertahankan hingga 2024.
Artinya, higher for longer. Bank sentral lainnya pun sama, tetap berkomitmen menaikkan suku bunga sampai inflasi menurun.
Alhasil, ancaman dunia resesi tahun depan kian nyata dan semakin dekat.
"Kebijakan moneter secara cepat menjadi restriktif sekarang, The Fed menaikkan suku bunga 400 basis poin dalam tempo 9 bulan. Risiko resesi akan semakin meninggi sekarang setelah Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan kita harus bersiap untuk kenaikan selanjutnya," kata Edward Moya, strategist pasar senior di Oanda dalam catatannya kepada klien yang dikutip CNBC International.
Ketua The Fed, Jerome Powell sebelumnya mengatakan suku bunga akan terus dinaikkan, meski belakangan inflasi sudah mulai menurun.
"Data inflasi yang kita lihat pada Oktober dan November menunjukkan penurunan kenaikan harga secara bulanan. Tetapi masih diperlukan bukti yang substansial agar yakin inflasi berada pada jalur penurunan," kata Powell dalam konferensi pers Kamis pekan lalu.
Pernyataan Powell tersebut mengindikasikan kampanye The Fed menurunkan inflasi masih jauh dari kata selesai, suku bunga meski sudah berada di level tertinggi dalam 15 tahun terakhir akan kembali dinaikkan dan ditahan pada level tinggi dalam waktu yang lama.
Sebagai catatan, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) AS sudah mengalami penurunan 5 bulan beruntun, pada November tumbuh 7,1% year-on-year (yoy). Angka itu turun jauh dari puncaknya 9,1% pada Juni lalu yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dua Hari di Zona Merah, IHSG Kembali Menguat