Surplus Dagang Bukan Obat Kuat Bagi Rupiah, Ini Buktinya!

Maesaroh, CNBC Indonesia
16 December 2022 13:55
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah tetap melemah meskipun Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 31 bulan beruntun pada November 2022.

Fakta tersebut memperpanjang tren historisnya selama ini jika surplus neraca perdagangan tidak cukup kuat menopang nilai tukar rupiah. Begitu juga sebaliknya, defisit surplus neraca perdagangan tidak serta membuat nilai tukar rupiah terpuruk.

Seperti diketahui, neraca perdagangan pada November 2022 membukukan surplus sebesar US$ 5,16 miliar. Surplus tersebut memperpanjang catatan surplus menjadi 31 bulan.

Secara keseluruhan, surplus neraca perdagangan pada Januari-November 2022 tercatat US$ 50,59 miliar.



Namun, pencapaian luar biasa tersebut kurang berimbas positif kepada nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda pada perdagangan kemarin ditutup melemah 0,16%. Merujuk pada data Refinitiv, rupiah juga masih melemah 0,05% ke posisi Rp 15.623/US$1 pada hari ini, Jumat (16/12/2022) pukul 09: 48 WIB.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), maupun Refinitiv, pergerakan nilai tukar kerap tak sejalan dengan surplus neraca perdagangan.

Pada periode defisit panjang Oktober 2012-Juli 2013, rupiah sempat menguat pada November 2012 dan Februari 2013 atau kalaupun melemah terbilang tipis sebelum Mei 2013.

Rupiah baru mengalami guncangan hebat sejak Mei 2013 setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) mengumumkan akan mengakhiri kebijakan quantitative easing-nya.

Pada saat Indonesia mencatatkan rekor defisit pada April 2019 yakni US$ 2,3 miliar, rupiah juga hanya melandai tipis sekitar Rp 10/US$.

Indonesia juga pernah berada dalam periode defisit besar pada Oktober 2018-Januari 2019. Defisit tercatat US$ 1,76 miliar pada Oktober, sebesar US$ 2,05 miliar pada November, US$ 1,07 miliar pada Desember, serta US$ 0,98 miliar pada Januari 2019.

Namun, rupiah justru menguat tajam dari sekitar US$ 15.200/US$1 pada Oktober menjadi US$ 13.970/US$ pada akhir Januari 2019.




Kondisi sebaliknya terjadi pada Januari 2016-Juni 2017 di mana rupiah kerap melemah di tengah rentetan panjang surplus neraca perdagangan.

Rupiah bahkan ambruk menjadi US$ 13.550 per US$1 pada akhiri November 2016 dari US$ 13.047/US$1 pada September 2016. Padahal, neraca perdagangan tercatat surplus sebesar US$ 1,28 miliar pada September 2016 dan US$ 1,24 miliar pada Oktober 2016.

Kondisi serupa terjadi sejak pertengahan Juni tahun ini. Rupiah yang sempat menguat pada awal tahun hingga pertengahan tahun, ambles sejak September di tengah lonjakan surplus neraca perdagangan.

Ekonom BCA Suryaputra Wijaksana mengatakan nilai tukar rupiah Indonesia lebih dipengaruhi oleh arus keluar masuk dana investor asing di pasar saham dan obligasi.

Banyaknya pendapatan ekspor yang tidak dibawa ke bank dalam negeri atau dikonversi ke dolar AS juga membuat nilai tukar kerap melemah di tengah impresifnya kinerja ekspor.

"Tidak semua hasil ekspor direpatriasi ke sistem perbankan dalam negeri.. Aliran dana asing masuk dan keluar di pasar obligasi dan saham  juga lebih dominan dalam menentukan nilai tukar rupiah di jangka pendek," tutur Suryaputra kepada CNBC Indonesia.

Senada, ekonom Bank Maybank Indonesia juga Juniman menjelaskan pelemahan rupiah saaat ini dipicu oleh derasnya capital outflow. Investor asing meninggalkan pasar keuangan Indonesua untuk memburu aset aman seperti dolar AS setelah The Fed memberlakukan kebijakan moneter yang agresif.

"Suku bunga Fed Fund Rate sangat cepat memicu capital outflow dari emerging markets ke AS," ujar Juniman, kepada CNBC Indonesia.

Berdasarkan data BI pada awal tahun hingga 8 Desember 2022, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 140, 62 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sementara di pasar saham masih tercatat net buy sebesar Rp 73,27 triliun

Juniman juga menambahkan banyaknya Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diparkir di luar negeri membuat rupiah tetap melemah meskipun ekspor moncer. 

"Seyogyanya BI dan Pemerintah serta semua stakeholder duduk bareng untuk memformulasikan kembali regulasi DHE ini agar dana DHE ini diparkir di dalam negeri untuk periode tertentu.," imbuhnya.

Banyaknya DHE yang tidak masuk ke bank dalam negeri setidaknya tercermin dari pergerakan cadangan devisa (Cadev).  Cadev pada akhir November 2022 tercatat US$ 134 miliar.

Jika menilik posisi Cadev per Desember 2021 yang tercatat US$ 144,9 miliar maka pada tahun ini Cadev sudah terkuras US$ 10,9 miliar.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan periode 2019. Posisi Cadev per Desember 2019 mencapai US$ 129,18 miliar atau naik US$ 8,48 miliar sepanjang tahun tersebut.  Neraca perdagangan pada 2019 tercatat defisit sebesar US$ 3,2 miliar.

 TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular